Asal Usul Nama Daerah (4)

Jakarta (lanjutan)

Kampung Makasar

Kawasan yang dahulu termasuk Kampung Makasar dewasa ini meliputi wilayah kelurahan Makasar dan sebagian dari wilayah Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Kramat Jati, Kotamadya Jakarta Timur.

Disebut Kampung Makasar, karena sejak tahun 1686 dijadikan tempat pemukiman orang-orang Makasar, di bawah pimpinan Kapten Daeng Matara (De Haan 1935:373).

Mereka adalah bekas tawanan perang yang dibawa ke Batavia setelah Kerajaan Gowa, dibawah Sultan Hasanuddin tunduk kepada Kompeni yang sepenuhnya dibantu oleh Kerajaan Bone dan Soppeng (Colenbrander 1925, (II):168: Poesponegoro 1984, (IV):208). Pada awalnya mereka di Batavia diperlukan sebagai budak, kemudian dijadikan pasukan bantuan, dan dilibatkan dalam berbagai peperangan yang dilakukan oleh Kompeni. Pada tahun 1673 mereka ditempatkan di sebelah utara Amanusgracht, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kampung Baru (De Haan 1935:373).
Mungkin merasa bukan bidangnya, tanah di Kampung Makasar yang diperuntukan bagi mereka itu tidak mereka garap sendiri melainkan di sewakan kepada pihak ketiga, akhirnya jatuh ketangan Frederik Willem Preyer (De Haan 1935:373; 1910:57).

Salah seorang putrid Daeng Matara menjadi istri Pangeran Purbaya dari Banten yang memiliki beberapa rumah dan ternak di Condet, yang terletak disebelah barat Kampung Makasar (De Haan 1910:253).

Perlu dikemukakan, bahwa pada tahun 1810 pasukan orang-orang Makasar oleh Daendles secara administrative digabungkan dengan pasukan orang-orang Bugis (De Haan 1925:373).

Pada awal abad keduapuluhan, menjadi milik keluarga Rollinson (Poesponegoro 1986, (IV):295), tanggal 5 April (1916, pen.), yaitu ketika Entong Gendut memimpin gerombolan orang-orang berkerumun di depan Villa Nova, rumah Lady Rollinson, pemilik tanah partikelir Cililitan Besar.

Kampung Melayu

Kawasan Kampung Melayu merupakan wilayah Kelurahan Kampung Melayu dan sebagian dari wilayah Kelurahan Balimester, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur.

Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan demikian, karena mulai paro kedua abad ke- 17 dijadikan tempat pemukiman orang-orang Malayu yang berasal dari Semenanjung Malaka (sekarang Malingsia) dibawah pimpinan Kapten Wan Abdul Bagus.

Wan Abdul Bagus adalah anak Ence Bagus, kelahiran Patani, Thailand Selatan. Ia terkenal pada jamannya sebagai orang yang cerdas dan piawai dalam melaksanakan tugas, baik administratif maupun di lapangan sebagai perwira. Boleh dikatakan selama hidupnya ia membaktikan diri pada Kompeni. Dimulai sebagai juru tulis, kemudian menduduki berbagai jabatan, seperti juru bahasa, bahkan sebagai duta atau utusan. Sebagai seorang pria dia sering terlibat dalam peperangan seperti di Jawa Tengah, pada waktu Kompeni “membantu” Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo. Demikian pula pada perang Banten, ketika kompeni “membantu” Sultan Haji menghadapi ayahnya sendiri Sultan Ageng Tirtayasa. Waktu menghadapi pemberontakan Jonker, Kapten Wan Abdul Bagus terluka cukup parah. Menjelang akhir hayatnya ia dipercaya oleh Kompeni untuk bertindak selaku Regeringscommisaris , semacam duta, ke Sumatera Barat.

Kapten Wan Abdul Bagus meninggal dunia tahun 1716, ketika usianya genap 90 tahun. Kedudukannya sebagai kapten orang-orang Melayu digantikan oleh putranya yang tidak resmi, Wandullah, karena ahli waris tunggalnya, Wan Mohammad, meninggal dunia mendahului ayahnya. Menurut F. De Haan, Ratu Syarifah Fatimah, yang kemudian terkenal karena membuat Kesultanan Banten geger, adalah janda dari Wan Mohammad, jadi mantunya Wan Abdul Bagus.

Karet Tengsin

Marupakan nama kampung yang ada disekitar kampung Tanah Abang. Nama ini berasal dari nama orang Cina yang kaya raya dan baik hati. Orang itu
bernama Tan Teng Sien . Karena baik hati dan selalu memberi bantuan kepada masyarakat sekitar kampung, maka Teng Sien cepat dikenal.

Disekitar daerah ini pada waktu itu banyak tumbuh pohon karet karena masih berupa hutan. Pada waktu Ten Sien meninggal, banyak masyarakat yang dating melayat. Bahkan ada yang dating dari luar Jakarta, seperti dari Jawa Tengah dan Jawa Timur Teng Sien dikenal oleh masyarakat sekitar dan selalu menyebut daerah itu sebagai daerah Teng Sien. Karena pada waktu itu banyak pohon karet, maka daerah ini terkenal sampai sekarang dengan nama Karet Tengsin.

Kebayoran

Kawasan Kebayoran dewasa ini terbagi menjadi dua buah kecamatan, Kecamatan Kebayoran Baru dan Kebayoran Lama, Kotamadya Jakarta Selatan.

Kebayoran berasal dari kata kabayuran, yang artinya tempat penimbunan kayu bayur (Acer Laurinum Hask., famili Acerinae), yang sangat baik untuk dijadikan kayu bangunan karena kekuatannya serta tahan terhadap serangan rayap (fillet 1888: 40). Bukan hanya kayu bayur yang biasa ditimbun dikawasan itu pada jaman dulu, melainkan juga jenis-jenis kayu lainnya. Kayu-kayu gelondongan yang dihasilkan kawasan tersebut dan sekitarnya diangkut ke Batavia melalui Kali Krukut dan Kali Grogol, dengan cara dihanyutkan. Berbeda dengan keadaan sekarang, kedua sungai tersebut pada jaman itu cukup lebar dan berair dalam.

Sampai awal masa kemerdekaan Indonesia, Kebayoran menjadi nama sebuah distrik, yang dikepalai oleh seorang wedana, termasuk wilayah Kabupaten Meester Cornelis. Wilayahnya meliputi pula kawasan Ciputat.

Sekitar tahun 1938 di kawasan Kebayoran direncanakan akan dibangun sebuah lapangan terbang internasional, namun dibatalkan karena pecah Perang Dunia Kedua. Kemudian, mulai tahun 1949 di tempat yang direncanakan untuk lapangan terbang itu dibangunlah Kota Satelit Kebayoran Baru, meliputi areal seluas 730 ha, yang menurut rencana cukup untuk dihuni oleh 100.000 jiwa, suatu jumlah yang jauh dari sesuai dengan perkembangan penduduk Jakarta kemudian hari (Surjomiharjo 1973:37).

Kebon sirih

Kawasan Kebonsirih dewasa ini menjadi nama kelurahan, Kelurahan Kebon Sirih, termasuk wilayah Kecamatan Gambir, Kotamadya Jakarta Pusat.

Dari namanya sudah dapat diperkirakan, kawasan itu dahulu merupakan kebon sirih. Tanaman merambat, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Chavica densa Miq., termasuk famili Piperaceae, itu sampai masa-masa yang belum begitu lama berselang sangat digemari banyak orang untuk dikunyah-kunyah, istilahnya: makan sirih. Kelengkapannya antara lain, adalah kapur (sirih), pinang dan gambir. Dewasa ini sirih lebih banyak digunakan sebagai pelengkap upacara termasuk upacara ngelamar.

Belum diperoleh keterangan yang lebih jelas, apakah kawasan tersebut dijadikan Kebun Sirih sebelum atau sesudah dibangunnya defensilijn (garis pertahanan) Van de Bosch pada awal abad kesembilanbelas.

Sekitar pertengahan abad kesembilanbelas Jalan Kebonsirih oleh orang-orang Belanda biasa disebut: de nieuwe weg achter het koningsplein, atau alam baru di belakang koningsplein. Kemudian, karena di sana tinggal seorang hartawan yang dermawan, bernama K.F. Holle, mula- mula biasa pula disebut Gang Holle, kemudian berkembang sesuai dengan perkembangannya menjadi Laan Holle walau nama resminya Sterreweg. (De Haan 1935:322).

Kemayoran

Kawasan Kemayoran dewasa ini meliputi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Kemayoran, Kebon Kosong dan Serdang, termasuk wilayah Kecamatan Kemayoran, Kotamadya Jakarta Pusat.

Nama Kawasan tersebut biasa disebut Mayoran, seperti yang tercantum dalam Plakaatboek (Van der Chijs XIV:536), dan sebuah iklan pada Java Government Gazette 24 Februari 1816.

Isaac de Saint Martin tergolong pemilik tanah yang sangat luas tersebar di beberapa tempat, antara lain di pinggir sebelah timur sungai Bekasi, di Cinere (dahulu disebut Ci Kanyere) sebelah timur Sungai Krukut di Tegalangus dan di kawasan Ancol, yang luas seluruhnya berjumlah ribuan hektar. Nama aslinya, adalah Isaac de Ostale de Saint Martin, lahir tahun 1629 di Oleron, Bearn, Prancis. Karena sesuatu sebab ia meninggalkan tanah airnya, dan membaktikan dirinya kepada VOC. Pada tahun 1662 ia tercatat sudah berpangkat Letnan, ikut serta dalam peperangan di Cochin. Dengan pangkat mayor ia terlibat dalam peperangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ketika Kompeni ”membantu” Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo. Pada bulan Maret 1682 ia, bersama Kapten Tack, ditugaskan untuk ”membantu” Sultan Haji menghadapi ayahnya Sultan Ageng Tirtayasa. Pada waktu berlangsungnya perang itu, ia mulai merasa benci kepada Kapten Jonker, yang dianggapnya arogan.
Demikianlah, setelah perang itu selesai, dengan berbagai cara ia berusaha agar Jonker dikucilkan. Dan ternyata usahanya berhasil. Karena merasa dikucilkan, Jonker akhirnya bangkit melawan Kompeni, walupun gagal.

Demikianlah, sekilas tentang tokoh yang pangkatnya abadi melekat pada kawasan yang sebagian menjadi lapangan terbang, dan kemudian dijadikan arena Pekan Raya Jakarta.

Sumber : Kaskus

0 komentar:

Posting Komentar