Kamis, 20 Agustus 2009 / Label:

sejarah dalam kutipan gambar

Lirik Indonesia Raya

selengkapnya... sejarah dalam kutipan gambar

komentar (2) / Read More

Senin, 17 Agustus 2009 / Label:

Ekonomi Politik Kaum Buruh (1)

BAB I
Kerja dan Tenaga Kerja

*Suryadi A Radjab

Kita semua sudah biasa mendengar dan menyebut istilah kerja dan tenaga kerja. Kedua istilah ini telah mengisi perkembangan manusia dan kemajuan masyarakat. Mulanya manusia kerja berburu, kemudian dengan kerja bercocok tanam, kerja beternak hewan, serta meningkat dengan kerja dalam perkebunan, industri, perhotelan, parawisata dan perbankan, bahkan stasiun ruang angkasa.
Hasil kerja yang dicapai manusia, luar biasa. Kerja manusia telah menimbulkan kemajuan-kemajuan yang menakjubkan di bidang ilmu pengetahuan, teknik dan produksi serta layanan (jasa). Sekarang sampailah kita pada masyarakat di mana sebagian besar menerima upah dan sebagian kecil mengupah.
Sehari-hari kita sudah terbiasa dengan istilah kerja, tapi jarang dikaitkan dengan tenaga kerja. Seakan-akan keduanya terpisah. Walaupun sering kita ucapkan dan dengar, tapi jarang dipilah (dibedakan) dan dihubungkan kerja dengan tenaga kerja. Untuk memahami betapa pentingnya kerja dan tenaga kerja, maka hubungan keduanya harus kita telusuri.
Dengan memahami dan menyadari hal ini, sangatlah layak dan sangat berhak bagi semua orang yang bekerja di seluruh dunia untuk menyatakan betapa hebatnya mereka karena melalui kerja yang sudah dihasilkannya, kemajuan masyarakat telah mereka penuhi. Ini berarti seluruh hasil yang dicapai masyarakat didasarkan atas kerja.
1.1. Apakah kerja itu?
Dalam merumuskan kerja, kita perlu mengaitkannya dengan hal-hal yang berhubungan sebagai berikut.
Pertama, kerja adalah kegiatan kreatif dan produktif yang dilakukan manusia. Kreatif dan produktif yang dimaksudkan adalah menghasilkan sesuatu baik berbentuk barang maupun jasa. Dan semua kegiatan ini adalah kegiatan manusia - bukan di luar manusia.
Kedua, setiap kerja selalu menggunakan tenaga kerja. Apa pun kerja yang dilakukan, selalu dengan tenaga kerja. Dengan menggunakan tenaga dalam waktu tertentu inilah kerja dapat dilakukan.
Ketiga, kerja juga selalu menggunakan alat-alat (sarana) kerja. Tidak ada kerja tanpa menggunakan alat-alat kerja. Setiap kerja selalu memakai alat, apa pun bentuk alatnya dan apa pun jenis pekerjaannya.
Keempat, kerja berkaitan dengan kepentingan yang bersifat sosial. Kerja berhubungan dengan orang lain. Kerja tidak bersifat a-sosial, demi seorang diri. Bahkan hasil kerja dan pengalaman kerja dapat diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Generasi mendatang memetik hasil dari kerja-kerja yang sudah dicapai oleh generasi pendahulunya.
Kelima, kerja juga berkaitan dengan kebutuhan. Barang dan jasa yang dihasilkan melalui kerja adalah untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Kerja dan kebutuhan manusia (masyarakat) saling berkaitan.
Keenam, dengan kerja, manusia dan masyarakat mengalami peningkatan tertentu baik jumlah maupun mutu. Semakin meningkat kemampuan kerjanya, semakin banyak pula barang dan jasa yang dihasilkan. Dengan begitu, semakin meningkat pula mutu barang yang diproduksinya serta semakin maju masyarakatnya.
1.2. Apakah tenaga kerja itu?
Perlu kita pastikan pula pentingnya tenaga kerja dalam kegiatan kerja di mana keduanya selalu saling berkaitan.
Pertama, tenaga kerja adalah tenaga yang digunakan untuk bekerja atau menjalankan kegiatan kerja. Setiap orang bekerja, pasti menggunakan tenaga kerja. Kerja hanya dapat digerakkan oleh tenaga kerja.
Kedua, tenaga kerja terdapat dalam tubuh manusia. Tenaga kerja merupakan gabungan kemampuan fisik (otot) dan sekaligus kemampuan mental yang dimiliki manusia. Tak ada tenaga kerja melulu otot atau melulu mental. Tenaga kerja adalah kedua-duanya.
Ketiga, dengan kemampuannya, maka tenaga kerja juga tenaga yang menghasilkan barang dan jasa. Tenaga kerja sebagai sumber nilai. Dengan tenaga inilah manusia dapat menciptakan barang dan jasa yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhannya.
Keempat, manusia adalah pemilik tenaga kerja, karena tenaga ini berada di dalam tubuh manusia. Sedangkan mesin ataupun pada hewan tidak mengandung tenaga kerja. Hanya manusia yang memiliki tenaga kerja.
1.3. Apakah alat-alat kerja itu?
Untuk melaksanakan kerja, pastilah diperlukan alat-alat (sarana). Kita perlu rumuskan, apa sebenarnya alat-alat kerja itu.
Pertama, alat-alat kerja adalah alat-alat yang digunakan untuk bekerja. Seperti cangkul, pisau, mesin-mesin pabrik, bahan-bahan produksi, ruangan kerja, gudang, kantor perusahaan, dan sebagainya yang berada di luar manusia. Dengan alat-alat inilah manusia menjalankan kegiatan kerja. Tanpa alat-alat kerja, manusia tak bisa bekerja.
Dalam kerja berburu, manusia butuh tombak atau panah. Kerja bersawah, dibutuhkan cangkul dan benih padi. Membuat kain, butuh alat pemintal dan benang. Kerja kantoran, butuh ATK (alat tulis kantor) dan ruangan kerja. Kerja politik, orang butuh alat politiknya seperti organisasi perkumpulan atau partai. Kerja mengelola hotel, butuh adanya hotel. Untuk beribadah secara massal, orang butuh masjid, gereja, kuil, vihara, atau kelenteng.
Kedua, alat-alat kerja adalah hasil ciptaan manusia dengan mengerahkan tenaganya untuk menciptakan alat-alat tersebut. Manusia bekerja menciptakan gedung perkantoran sebagai sarana kerja kantoran. Setiap alat-alat kerja hanya dapat digunakan dengan mengerahkan tenaga kerja.
Alat-alat dan sarana kerja memang ciptaan manusia. Mulai dari membuat tombak dan panah, cangkul dan menanam benih, alat pemintal dan benang, merancang dan membangun gedung atau hotel, merancang dan membangun tempat-tempat ibadah, serta sampai membuat partai dan negara (state). Semua alat (sarana) kerja adalah hasil ciptaan manusia.
1.4. Apakah hubungan kerja itu?
Setiap kerja pasti mengandung hubungan-hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan-hubungan yang terjadi di dalam kegiatan kerja. Ada dua sifat hubungan kerja di dalam kegiatan kerja.
Pertama, hubungan-hubungan kerja yang bersifat teknis. Hubungan teknis merupakan hubungan orang-orang yang bekerja dengan alat-alat yang digunakan. Hubungan ini menyangkut cara atau teknik yang digunakan dalam bekerja dalam menyesuaikan keadaan alat-alat kerja tersebut.
Kedua, hubungan-hubungan kerja yang bersifat sosial. Hubungan sosial dimaksudkan sebagai hubungan di dalam kelompok (unit) kerja dari suatu proses kerja. Hubungan kelompok ini baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung adalah di antara orang-orang yang terlibat dalam proses kerja. Sedangkan hubungan tidak langsung adalah dengan orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam proses kerja. Contohnya, pengusaha adalah orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam proses produksi.
1.5. Apakah proses kerja itu?
Proses kerja adalah kegiatan kerja manusia untuk mengolah atau memproses suatu obyek kerja menjadi produk atau hasil tertentu. Apa saja yang dibutuhkan dalam proses kerja?
Pertama, proses kerja memerlukan obyek kerja dalam bentuk bahan-bahan mentah atau bahan-bahan setengah jadi maupun bahan-bahan penunjangnya yang akan diolah untuk menjadi produk atau hasil tertentu.
Kedua, proses kerja pastilah pula memerlukan alat-alat kerja yang digunakan untuk mengubah atau mengolah obyek kerja menjadi produk atau hasil tertentu. Alat-alat kerja ini pun digolongkan sebagai obyek kerja.



1.6. Bagaimana hubungan kerja itu diatur?
Memang ada kerja yang dilakukan secara pribadi. Misalnya, seorang petani kecil, tukang kecil, penyair, pencipta lagu dan pelukis, dengan menggunakan alat-alatnya sendiri. Tapi, di sini kita lebih mencurahkan kepada kerja dalam kelompok seperti pabrik, bank, kereta api, sekolah dan hotel. Sehingga hubungan kerja diatur berdasarkan hubungan teknis maupun hubungan sosial.
Pertama, alat-alat kerja (produksi) termasuk sarana dan teknologi produksi yang digunakan mengandung sifatnya sendiri. Selain mengikuti cara-cara kerja yang sesuai dengan cara penggunaan alat-alat kerja, maka kerja dalam kelompok ini juga diatur melalui sebuah komando (perintah). Mereka yang bekerja berada dalam sebuah komando untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan jumlah tertentu pula.
Kedua, dalam hubungan kerja (produksi), orang-orang yang langsung terlibat dalam proses produksi lebih banyak jumlahnya ketimbang orang yang tidak terlibat langsung. Dalam hubungan ada hubungan kekuasaan. Orang yang berkuasa, akan mengomandoi dan mengatur kegiatan kerja. Sebaliknya, yang tidak berkuasa hanya diperintah dan diatur untuk bekerja sesuai target produksi. Baik mereka yang terlibat langsung maupun tak langsung, keduanya terikat dalam hubungan kerja sekaligus hubungan kekuasaan. Orang berkuasa, melakukan pengawasan untuk mengendalikan (kontrol) atas proses kerja.
Ketiga, hubungan kerja diatur juga berdasarkan hubungan kepemilikan. Ada yang memiliki alat-alat (sarana) kerja (produksi) dan ada pula yang sama sekali tidak memilikinya. Pemilik sarana akan berkuasa terhadap mereka yang sama sekali tak memilikinya. Kekuasaan dan kontrol sepenuhnya di tangan pemilik.
1.7. Apa akibat pemilikan pribadi atas alat-alat produksi?
Beberapa akibat yang ditimbulkan dari pemberlakuan hak milik pribadi atas alat-alat (sarana) produksi.
Pertama, bagi orang yang tak memilik alat-alat (sarana) produksi, mereka dipaksa harus bekerja kepada orang yang memiliki alat-alat tersebut. Bekerja atau berproduksi, haruslah menggunakan alat-alat produksi. Karena itu, dalam corak hubungan ini, buruh (bukan pemilik alat-alat produksi) dipaksa untuk bekerja pada pengusaha (pemilik alat-alat produksi).
Kedua, tujuan kerja bukan hanya mewujudkan kemampuan kerja dari pemilik tenaga kerja (buruh), tapi juga demi hasil yang sepenuhnya dimiliki pemilik alat-alat produksi (pengusaha). Apa yang sudah dikerjakan, mutlak (absolut) menjadi milik pengusaha.
Ketiga, mereka yang tak memilik alat-alat produksi, tenaga mereka sebagai sumber nilai (penghasil nilai) diubah menjadi sekadar nilai tukar melalui pemberlakuan sistem upah. Artinya, tenaga kerja telah diubah menjadi komoditas (barang dagangan) yang diukur dengan sejumlah uang: sepuluh ribu, seratus ribu, atau sejuta rupiah.
Keempat, dengan diubahnya tenaga kerja sebagai komoditas, maka tenaga kerja tak lebih dari sekadar alat-alat produksi (komoditas) juga yang digunakan dalam kegiatan produksi. Tenaga produktif ini telah disetarakan dengan mesin industri dalam sebuah pabrik.
Kelima, setiap kerja tidak lagi bersumber pada tenaga kerja, melainkan justru dijungkitbalikkan atas dasar pemilikan alat-alat produksi. Sistem pemilikan inilah yang menentukan pengerahan atau pengorganisasian tenaga kerja dan kegiatan kerja macam apa yang diperintahkan.
Keenam, karena tenaga kerja menjadi komoditas, maka bukan hanya alat-alat produksi, melainkan juga seluruh hasil dari kegiatan produksi adalah komoditas. Karena itu, seluruh produk yang dihasilkan, harus diperdagangkan, apa pun komoditas yang dihasilkan. Seluruhnya harus dijual.
Ketujuh, bila seluruh hasil mutlak (absolut) menjadi milik sang pemilik alat-alat produksi, maka kesenjangan atau ketidakadilan ekonomi jadi tidak terhindarkan. Semakin besar perusahaannya, semakin kaya pulalah pemilik perusahaan. Karena itu, pasti mengakibatkan kesenjangan yang menyolok antara pemilik tenaga kerja dengan pemilik alat-alat produksi.
1.8. Adakah pembagian kerja dalam produksi?
Ketika alat-alat produksi yang sudah berkembang, pembagian kerja menjadi tidak terhindarkan. Ada pembagian kerja sektor produksi pertanian dan ada pula pembagian kerja sektor produksi jasa. Begitu juga di dalam sektor itu sendiri seperti produksi kehutanan dan perkebunan.
Bahkan dalam sebuah produksi perusahaan pun terjadi beberapa pembagian kerja. Antara bagian personalia, bagian produksi (pengolahan), bagian pergudangan, dan bagian pemasaran. Dalam kegiatan kerja yang dijalankan atas dasar kerja kelompok (kooperatif), pasti terjadi pembagian kerja, karena tidak satu kelompok mengerjakan semua bagian, melainkan bagiannya sendiri.
1.9. Apakah pembagian kerja itu?
Dalam setiap kegiatan kerja (produksi), juga terjadi pembagian kerja. Pembagian kerja adalah pembagian yang didasarkan atas sektor-sektor, bidang-bidang dan bagian-bagian yang berlangsung dalam setiap kegiatan kerja di masyarakat. Ada tiga jenis pembagian kerja dalam masyarakat.
Pertama, pembagian kerja produksi adalah kegiatan produksi yang terjadi dalam berbagai cabang, sektor atau bidang. Misalnya, pembagian kerja dalam cabang produksi pertanian dan cabang produksi industri. Dalam cabang industri terdapat pembagian kerja dalam sektor produksi logam, tekstil, kimia, elektronika, serta sektor produksi perbankan dan perhotelan.
Kedua, pembagian kerja teknis adalah pembagian kerja menurut bagian-bagian dalam unit produksi. Dalam industri pakaian jadi, terdapat bagian-bagian perancangan, pemotongan, penjahitan, serta pergudangan dan pengangkutan atau pemasaran. Orang-orang yang bekerja dibagi regu atau kelompoknya dalam bagian-bagian (seksi-seksi) produksi.
Ketiga, pembagian kerja sosial adalah pembagian kerja yang berdasarkan pembidangan dalam masyarakat. Misalnya, orang yang bekerja dalam bidang ekonomi (buruh, pengusaha, pedagang dan petani), bidang politik (presiden, anggota DPR, dan pengurus partai politik), bidang kebudayaan (penyair, pelukis, sastrawan, guru dan artis film/sinetron dan musik), serta bidang ideologi (pemikir, pengamat sosial, penasehat ekonomi dan politik, dan media massa).
1.10. Mengapa manusia bekerja?
Pertama, manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan kerja. Kemampuan ini terkandung dalam tenaga kerjanya. Dengan adanya kemampuan (fisik dan mental) kerja, maka manusia terdorong untuk bekerja, bahkan tidak terhindarkan untuk bekerja. Karena itu, manusia dapat disebut sebagai subyek (pelaku) kerja.
Kedua, sebagai pelaku kerja, manusia berhubungan dengan obyek kerja. Misalnya, bahan-bahan mentah yang diambil dari alam termasuk hewan yang pertama-tama digunakan untuk bahan makanan manusia. Hubungan antara pelaku kerja dan obyek kerja inilah yang menyebabkan manusia harus bekerja, mengolah obyek kerjanya untuk dijadikan produk.
1.11. Apakah tujuan kerja?
Pertama, mewujudkan kemampuan kerja manusia. Kemampuan kerja yang terkandung dalam tenaga kerja harus diwujudkan dalam kegiatan kerja melalui tindakan mengubah obyek kerja menjadi produk. Mewujudkan kemampuan kerja berarti mengubah dari apa yang ada menjadi apa yang dikehendaki. Tujuan kerja berarti melakukan perubahan dari apa yang ada menjadi apa yang diinginkan sesuai tingkat kemampuan manusia.
Kedua, untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Manusia mempunyai berbagai kebutuhan. Kerja berarti menciptakan produk yang diinginkan (dikonsumsi) bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Tujuan inilah yang hendak dipenuhi dalam setiap kerja manusia.
Ketiga, untuk menciptakan kebutuhan baru. Semakin berkembangnya kemampuan kerja manusia, semakin banyak pula hasilnya. Ketika manusia mampu menciptakan mesin tekstil, semakin banyak pula kain yang dihasilkan. Ketika roda, ban dan mesin sudah dipadukan, manusia menciptakan mobil dan sepeda motor untuk memenuhi kebutuhan alat transportasi yang lebih cepat.
1.12. Apa akibat dari hubungan kerja yang diatur itu sepihak?
Ada beberapa akibat yang timbul dengan diberlakukannya hak milik pribadi atas alat-alat kerja (produksi).
Pertama, setiap orang yang tak punya alat-alat kerja (buruh: hanya memiliki tenaga kerja) terpaksa menggantungkan hidupnya kepada orang yang memiliki alat-alat tersebut (pengusaha). Buruh terpaksa bekerja kepada pemilik alat-alat kerja (pengusaha).
Kedua, tujuan kerja dari para pemilik tenaga kerja bukanlah untuk mendapatkan hasil atas apa yang sudah diproduksinya. Karena, apa yang sudah diproduksinya sepenuhnya menjadi milik orang memiliki alat-alat produksi tersebut.
Ketiga, orang-orang yang tak memiliki alat-alat kerja (buruh) telah terpaksa bekerja bukan untuk kepentingan golongannya, melainkan sepenuh-penuhnya untuk kepentingan orang yang memiliki alat-alat kerja (pengusaha).
Keempat, terjadi kesenjangan atau ketidakadilan ekonomi antara pemilik tenaga kerja (buruh) dengan pemilik alat-alat kerja (pengusaha). Kemakmuran hanya menjadi milik pengusaha berkat hasil kerja yang dipetik dari pengerahan tenaga kerja buruh.
Kelima, tenaga kerja sebagai sumber nilai (penghasil nilai) direnggut habis oleh pemilik alat-alat kerja (pengusaha) di mana seluruh produk (nilai) adalah miliknya pribadi. Dalam hubungan ini, alat-alat kerja telah diatur untuk merenggut habis nilai produktif yang terkandung dalam tenaga kerja. Kerja tidak lagi bersumber dari tenaga kerja, tapi ditentukan oleh pemilik alat-alat kerja.
Keenam, tata masyarakat pun diatur menurut tujuan dan kepentingan orang-orang yang memiliki alat-alat kerja. Negara, lembaga-lembaga pendidikan, teori-teori ekonomi dan manajemen, serta media massa dan pikiran semua penduduk, diatur menurut cara-cara, fungsi-fungsi, tujuan-tujuan yang dapat mengembangkan dan mengawetkan kepentingan para pemilik alat-alat kerja tersebut.
1.13. Bagaimana produksi dihubungkan dengan politik?
Pertama, kerja yang paling pokok terletak dalam bidang ekonomi (produksi). Produksi yang utama adalah menghasilkan produk (barang). Barang-barang inilah yang dikonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan setiap orang. Dalam politik atau budaya, tidak ada barang yang dihasilkan. Tapi kebutuhan utama manusia adalah barang-barang konsumsi.
Kedua, kerja dalam bidang politik dan budaya adalah penunjang atau pendukung, karena bukan barang yang dihasilkan. Kerja politik menghasilkan sistem negara. Kerja budaya menghasilkan sistem nilai dan lembaga pendidikan. Kerja bidang hukum menghasilkan perundang-undangan. Kerja bidang kepolisian adalah menjaga keamanan. Kerja ideologi menghasilkan pikiran-pikiran dan teori-teori ekonomi dan politik. Tapi, pertama-tama dan terutama yang dikonsumsi manusia adalah barang.
Ketiga, sebagai penunjang, maka sifat kerja politik, budaya, hukum dan ideologi adalah mengikuti atau mengabdi kepada hubungan-hubungan ekonomi. Negara, kepolisian, kebudayaan, hukum dan ideologi, semuanya mengabdi atau menunjang pada ekonomi.
Keempat, dasar-dasar dibangunnya sebuah bangunan kekuasaan dalam masyarakat tidak terletak pada politik atau budaya, melainkan terletak pada ekonomi. Mereka yang menguasai ekonomi itulah yang berkuasa. Artinya, orang-orang yang menguasai sektor produksi, distribusi dan konsumsi itulah yang sebenarnya berkuasa.
1.14. Apa yang telah dihasilkan dari kerja?
Sangat banyak yang dihasilkan dari kerja manusia. Tapi hanya perlu dijelaskan secara umum dan khusus saja.
Pertama, secara umum, seluruh perkembangan dan kemajuan (ekonomi) masyarakat sudah dipetik sampai sekarang adalah hasil kerja umat manusia. Kerja manusia telah menghasilkan sawah dan ladang, perkebunan raksasa, bentangan jalur panjang kereta api, jalan-jalan raya, kapal-kapal induk dan tanker, kota-kota besar, istana-istana, masjid dan gereja serta candi-candi besar, piramid Mesir, gedung-gedung dan hotel-hotel serta menara-menara pencakar langit, komputer dan jaringan informasi global, pesawat terbang dan pesawat antar-planet (Apollo dan Soyuz) serta stasiun ruang angkasa. Singkatnya, seluruh hasil yang ada sekarang ini adalah hasil kerja umat manusia.
Kedua, secara khusus, kerja - dengan mengeluarkan tenaga kerja - telah menghasilkan barang dan jasa. Apa pun barang dan jasa yang dihasilkan, semuanya adalah hasil kerja manusia dengan mengerahkan tenaga kerjanya. Berkembang pesatnya sebuah perusahaan, bukanlah semata-mata hasil kerja pengusaha, tapi yang terpenting adalah hasil kerja buruh - pemilik tenaga kerja - yang jumlah kerjanya pun jauh lebih banyak. Keuntungan yang besar bagi pengusaha, tidak mungkin diperoleh hanya oleh pengusaha, melainkan sebagian sangat besar dipetik dari hasil kerja buruh.
1.15. Apa kesimpulannya?
Pertama, kerja adalah kegiatan manusia yang kreatif dan produktif sebagai kenyataan pokok yang harus dijadikan pegangan - bukan yang dikibuli oleh teori ekonomi pengusaha. Dengan kerjanya, umat manusia telah meraih begitu banyak kemajuan dan perubahan ekonomi. Juga dengan kerja, manusia sudah melahirkan revolusi-revolusi seperti revolusi industri, revolusi borjuis, sistem negara serta perubahan-perubahan politik lainnya seperti demokrasi. Kerja manusia pun telah menghasilkan berbagai produk kebudayaannya terutama ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, setiap kerja selalu menggunakan tenaga kerja. Para pemilik tenaga kerja seharusnya orang-orang yang paling bernilai dalam menghasilkan berbagai hal dari kerja mereka. Bukan alat-alat kerja (produksi) yang bernilai, melainkan tenaga-tenaga pencipta alat-alat produksi tersebut. Bukan perusahaan yang bernilai, melainkan orang-orang yang mengerahkan kemampuan kerjanya yang lebih bernilai. Tidak ada perusahaan besar tanpa tenaga kerja yang mengoperasikannya. Tidak ada hotel bintang lima yang megah dapat meraih keuntungan besar tanpa kerja layanan dari pemilik tenaga kerja.
Ketiga, dalam setiap kerja selalu terjadi hubungan kerja. Secara teknis, pemilik tenaga kerja berhubungan dengan alat-alat kerja. Secara sosial, pemilik tenaga kerja berhubungan dengan sesamanya dan mereka diatur dalam hubungan kerja tertentu. Dalam hubungan kerja sekarang ini terdapat segelintir pemilik alat-alat produksi (modal), sedangkan mayoritas lainnya justru hanya memiliki tenaga kerja. Akibatnya, seluruh hasil kerja bukanlah menjadi milik mayoritas pemilik tenaga kerja, melainkan segelintir pemilik modal.
Keempat, semakin maju kegiatan kerja, semakin banyak pula pembagian kerjanya, karena semakin banyak bagian-bagian dalam rangkaian kerja. Pembagian kerja dalam bidang ekonomi, tercakup dalam sektor pertanian, sektor industri dan sektor jasa. Dari sektor-sektor ini juga terjadi pembagian kerja ke dalam cabang kehutanan dan perkebunan, cabang industri pakaian jadi dan mobil, serta cabang jasa angkutan umum dan jasa perbankan.
Kelima, selain ekonomi, pembagian kerja juga mencakup bidang politik, budaya, hukum dan ideologi. Pada dasarnya, semua bidang selain ekonomi, senantiasa mengabdi kepada bidang ekonomi. Negara, militer dan kepolisian, lembaga-lembaga kebudayaan serta perundang-undangan, mengabdi pada bidang ekonomi. Bidang-bidang ini hanyalah pantulan dari bidang ekonomi.
selengkapnya... Ekonomi Politik Kaum Buruh (1)

komentar (4) / Read More

/ Label:

Ekonomi Politik Kaum Buruh (2)

BAB II
Pengusaha

*Suryadi A Radjab

Buruh di berbagai perusahaan industri, perhotelan dan restoran sudah sering mendengar dan mengucapkan istilah pengusaha. Biarpun sering, tapi jarang diletakkan kedudukannya yang pokok dan tepat dalam ekonomi. Sehingga batas-batas kekuasaan pengusaha secara keseluruhan tak dapat dipahami dan disadari dengan tepat.
Kekuasaan pengusaha bukanlah hasil "wahyu Ilahi" atau hasil "simsalabim", melainkan hasil hubungan-hubungan kerja (produksi) yang terbentuk dalam tahap perkembangan masyarakat sesudah hubungan-hubungan produksi ekonomi feodal menjadi rongsokan dan punah.
Pengusaha selalu membentuk dan mempertahankan hubungannya dengan kaum buruh. Karena itu, sangatlah penting mengenali dan memahami dasar-dasar hubungan ini, supaya mata pikiran kita menjadi mampu membaca dan terlatih. Marilah kita kenali pengusaha tersebut.

2.1. Apakah modal itu?

Kita sudah sering dengan istilah modal seperti "penanaman modal". Biasanya diukur dengan banyaknya uang dalam membangun usaha (bisnis). Misalnya, buka usaha toko perlu modal Rp 50 juta. Tapi modal tak hanya besarnya uang. Marilah kita rumuskan.
Pertama, uang memang salah satu cara dalam membentuk modal. Uang belumlah sebagai modal bila ia tidak diubah menjadi modal. Karena, uang hanyalah alat tukar yang menunjukkan nilai tukar dari besaran tertentu. Besarannya bisa sepuluh juta, seratus juta atau satu milyar rupiah. Uang dijadikan alat untuk membentuk modal. Di sini terjadi proses perubahan dari uang menjadi modal. Proses ini disebut sebagai proses pembentukan modal.
Kedua, perubahan uang menjadi modal terjadi ketika uang dipertukarkan dengan sejumlah komoditas. Uang harus terlebih dulu diubah menjadi komoditas. Uang harus diubah menjadi alat-alat kerja (produksi) dan tenaga kerja. Jadi, uang tidak mungkin menjadi modal tanpa diubah menjadi komoditas tertentu yang segera dijadikan modal.
Ketiga, tersedianya modal haruslah digerakkan melalui proses kerja (produksi). Tanpa proses kerja, seluruh komoditas yang disedaikan sebagai modal tidak akan berfungsi sebagai modal. Proses kerja inilah yang menentukan apakah ketersediaan modal dapat berfungsi sebagai modal.
Keempat, proses kerja yang menentukan berfungsinya modal adalah dengan cara menciptakan komoditas baru yang disebut produk sebagai hasil yang dicapai dari proses produksi. Tapi produk sebagai komoditas haruslah diperdagangkan atau dipasarkan. Hasil pemasaran produk kembali berubah ke bentuk uang. Dan dari uang akan diubah lagi menjadi modal dan seterusnya.



Begitulah caranya bagaimana modal dapat menjadi modal. Modal tak mungkin ada tanpa proses kerja (produksi). Bahkan uang yang dijadikan alat untuk membentuk modal itu pun bersumber dari kerja. Dengan begitu, kerja merupakan sumber pembentuk modal.
Dengan terbentuknya modal, maka secara konkret kita bisa mengetahuinya dengan munculnya perusahaan-perusahaan. Perusahaan yang sudah berfungsi adalah modal yang berjalan.

2.2. Siapakah pengusaha itu?

Orang Perancis menyebut pemilik perusahaan industri sebagai borjuasi. Orang Inggris menyebutnya kapitalis. Sedangkan orang Indonesia akrab dengan sebutan pengusaha. Tapi hakekat ketiga sebutan ini sama saja. Mereka adalah sama-sama golongan pemilik modal - pemilik alat-alat produksi (kerja).
Hubungan pengusaha terhadap perusahaan sangatlah penting. Perusahaan seperti pabrik, hotel, restoran, perkebunan dan kehutanan serta angkutan penumpang itu sangat erat hubungannya dengan pengusaha. Untuk mengenali siapa pengusaha, berikut ini dapat diuraikan.
Pertama, pengusaha adalah pemilik alat-alat (sarana/obyek) produksi. Sarana (alat-alat) produksi ini pada umumnya disebut perusahaan. Mulai dari lahan, ruangan produksi, kantor, bahan-bahan produksi, sampai mesin-mesin dan alat pengangkutnya, secara umum digabungkan sebagai perusahaan. Semua alat dan bahan-bahan produksi ini dimiliki secara pribadi oleh pengusaha.
Kedua, secara resmi, pengusaha punya akta pendirian dan kepemilikan perusahaan. Kepemilikan ini bukan hanya disahkan melalui akta notaris, tapi juga dilindungi oleh UU atau hukum perdata. Secara sah, hak milik perusahaan berada di tangan pengusaha.
Ketiga, perusahaan juga bisa dimiliki oleh beberapa pribadi berdasarkan kepemilikan saham atas seluruh nilai (biasanya diukur berdasarkan "nilai tukar": uang/saham) dalam perusahaan itu. Mereka membentuk atau mengembangkan perusahaan dalam beberapa orang. Dan atas kepemilikan saham ini, semua mereka adalah pengusaha.
Keempat, sebagai pemilik, pengusaha mempekerjakan sejumlah orang untuk menjalankan perusahaannya. Pengusaha tak mungkin bekerja sendiri. Pengusaha selalu memanfaatkan dan mempekerjakan sejumlah orang, baik langsung maupun tak langsung (sub-kontrak).
Kelima, sebagai pemilik, pengusaha adalah pihak yang berkuasa dalam perusahaan. Pengusaha menentukan apa target yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang dipekerjakannya. Berdasarkan target (jumlah dan mutu), pengusaha mengatur pihak yang dipekerjakannya agar dapat memenuhi target tersebut. Secara umum (keseluruhan), pengusaha adalah golongan ekonomi yang berkuasa.
Keenam, pengusaha merupakan pihak yang mengupah orang-orang yang dipekerjakan. Pengusaha adalah golongan pengupah. Atas dasar upah ini, orang-orang yang dipekerjakan, harus mengeluarkan tenaga kerja dalam jumlah waktu kerja tertentu sesuai kehendak atau aturan yang diterapkan pengusaha.
Ketujuh, di mana pun pengusaha mendirikan dan mengoperasikan perusahaannya, mereka hanyalah golongan minoritas. Karena jumlahnya yang sangat sedikit. Sedangkan orang-orang yang dipekerjakan termasuk dalam golongan mayoritas di perusahaan tersebut.

2.3. Dari manakah pengusaha itu muncul?

Pengusaha (kapitalis/borjuis) muncul dari suatu pertarungan yang dahsyat dalam sistem ekonomi terdahulu, yakni sistem ekonomi feodal. Marilah kita perhatikan bagaimana kemunculan kapitalis itu.
Pertama, dalam sistem ekonomi yang dikuasai tuan tanah (feodal), tumbuh golongan pedagang dan tukang industri. Berkat kemajuan teknologi perhubungan dan pelayaran, serta yang terpenting teknologi industri. Kemajuan teknologi industri ditandai dengan penemuan mesin-mesin pada abad ke-17. Penemuan inilah yang meledakkan Revolusi Industri di Inggris. Sejak itu tumbuh golongan industriawan dengan keberhasilan mereka memanfaatkan kemajuan tersebut. Mereka bersekutu dengan golongan pedagang untuk melawan golongan tuan tanah. Dalam sejarah ekonomi, pengusaha lahir dari sebuah revolusi sosial yang dinamakan Revolusi Borjuis.
Kedua, melalui berbagai kemenangan yang dihasilkan, golongan borjuis itu tumbuh menjadi penguasa ekonomi yang baru dengan cara merubuhkan penguasa ekonomi lama (tuan tanah). Kemenangan ini mendorong golongan borjuis untuk membentuk sistem ekonomi baru yang sama sekali berbeda dengan sistem ekonomi feodal. Sistem ini dinamakan kapitalisme.
Ketiga, sistem kapitalis dibangun atas dasar corak produksi komoditas seluruhnya. Yang diproduksi adalah komoditas, bukan barang-barang yang dikonsumsi sendiri. Sebagai komoditas, ia harus diperdagangkan. Sistem kapitalis membutuhkan pasar sebagai arena perdagangan komoditas. Tak hanya pasar lokal dan nasional, tapi juga pasar dunia. Dalam sistem kapitalis, seluruh produksi adalah produksi komoditas. Dan seluruh dunia harus dijadikan pasar.
Keempat, dengan tumbuh sistem ekonomi kapitalis, maka sistem ekonomi feodal tumbang. Semua gerak sosial harus menyesuaikan diri dengan sistem ekonomi kapitalis. Dipelopori oleh Inggris, kemudian Jerman dan Perancis, disusul dengan pembangunan "koloni-koloni dagang" di wilayah jajahan sampailah sistem ekonomi kapitalis di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia melalui VOC dan perusahaan-perusahan perkebunan raksasa milik Belanda.

2.4. Apa nama masyarakat yang dikuasai pengusaha?

Demikianlah, hasil pertarungan antara borjuis dan tuan tanah yang saling bantai (antagonistis) telah menyebabkan sebuah revolusi industri dan revolusi sosial yang dimenangkan oleh golongan borjuis. Berkat kemenangan gemilang sebagai kekuatan revolusioner, golongan borjuis membentuk sistem sosialnya sendiri untuk meneguhkan kekuasaan dan akibatnya sistem sosial feodal lenyap.
Bagan di bawah ini menggambarkan hasil yang dicapai golongan borjuis dalam memenangkan revolusinya ketika melawan kekuasaan tuan tanah. Perkembangan kekuasaan borjuis meningkat melalui berbagai perdagangan global dan dikuasainya negeri-negeri jajahan. Mekanisme-mekanisme dan aturan-aturan borjuis diperkenalkan pada negeri-negeri jajahan.




Kemenangan revolusi borjuis itu telah membuat golongan ini menjadi penguasa ekonomi baru dengan cara membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang baru pula, yakni sistem ekonomi kapitalis (borjuis). Pertama-tama mereka membangun kapitalisme di Inggris, kemudian Jerman dan Perancis, serta meluas ke seluruh negeri di Eropa Barat, Selatan dan Timur. Amerika Utara dan Jepang pun mengikuti jejaknya dan berikutnya Amerika Selatan, Asia dan Afrika diubah untuk mengikuti sistem ini melalui penjajahan. Dan seluruh dunia dipaksa harus mengikuti sistem kapitalisme. Kapitalisme menjadi kekuatan sejarah yang paling terorganisasi di dunia.
Masyarakat-masyarakat di berbagai negeri telah diubah untuk mengikuti sistem kapitalisme. Bahkan masyarakat-masyarakat di Nusantara, setelah selesai dengan "koloni dagang" sambil menyingkirkan kaum ningrat (dengan cara menggunakannya sebagai bupati-bupati [politik pinggiran] yang "disembah-sembah" oleh rakyatnya), juga telah diubah menjadi masyarakat kapitalis sejak tumbuhnya perkebunan-perkebunan tebu dan pabrik gula raksasa pada akhir abad ke-19. Kapitalisme pun merambah dan merasuk Hindia Belanda (sejak 1928 dikenal dengan nama Indonesia). Sampai sekarang sistem ekonomi yang dibentuk pengusaha Belanda di masa kolonial tetap berlangsung.
Perkembangan organisasi kekuasaan golongan kapitalis sudah sangat berkembang dan maju. Organisasi kekuasaan mereka telah meluas melalui jaringan perusahaan multi-nasional (MNC) dan trans-nasional (TNC). Mereka telah menjadi penguasa dunia untuk menentukan masyarakat macam apa yang dikehendakinya.
Dengan kedudukan pengusaha sebagai penguasa ekonomi, maka masyarakat yang dibentuk dan diaturnya juga mengikuti kehendak dan kepentingan pengusaha. Maka masyarakat-masyarakat yang ditundukkan oleh kekuasaan golongan pengusaha ini juga mengikuti nama penguasanya. Orang Inggris mengenal dengan nama "masyarakat kapitalis". Orang Indonesia yang akrab dengan istilah pengusaha, maka identitas masyarakatnya adalah "masyarakat pengusaha".

2.5. Apa tujuan hidup pengusaha itu?

Setiap golongan dalam masyarakatnya, pasti mempunyai tujuan hidupnya. Begitu juga pengusaha sebagai golongan yang menguasai perekonomian dalam masyarakat kita. Apa tujuan mereka?
Pertama, golongan pengusaha selalu mempunyai tujuannya dalam mengelola perusahaan di mana setiap hasil produksi adalah untuk pasar. Produk yang dihasilkan melalui pengorganisasian perusahaannya, bukanlah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, melainkan untuk dijual atau dipasarkan. Jadi, tujuan produksi adalah untuk pasar.
Kedua, golongan pengusaha bertujuan menegakkan prinsip teoritis: "biaya produksi sekecil mungkin untuk keuntungan sebesar mungkin". Dalam mengendalikan perusahaannya, pengusaha selalu punya tujuan meraih keuntungan (laba). Angka-angka atau catatan laba merupakan catatan yang terpenting untuk menunjukkan bahwa pengusaha adalah golongan pengumpul laba. Di mana-mana, tujuan pengusaha selalu mengumpulkan laba. Semakin besar laba yang dikeruk, semakin menonjol pulalah kekuatannya. Semakin panjang kemampuannya mengeruk laba, semakin terlihat ketangguhannya. Laba menjadi ukuran keberhasilan pengusaha. Sebaliknya, tidak ada laba berarti gagal. Bila tak ada lagi laba yang bisa dihasilkan, mati pulalah pengusaha itu (biasa disebut bangkrut). Jadi, memburu laba merupakan misi utama pengusaha. Sepanjang hidupnya, pengusaha mengikuti logika mengejar laba. Generasi kedua, ketiga dan seterusnya yang mewarisi perusahaannya juga mengikuti logika kerja yang sama: mengeruk untung.
Ketiga, setiap keuntungan yang dihasilkan pengusaha tidaklah dihabiskan untuk tujuan konsumsi bagi diri dan keluarganya, melainkan juga untuk ditimbunnya pada perusahaannya atau dimasukkannya ke rekening bank untuk mengumpulkan bunga bank. Bila ditanamkan ke perusahaannya, maka perusahaannya akan terus membesar dan kemudian menjadi perusahaan induk yang memiliki sejumlah anak perusahaan. Ini berarti perusahaannya sudah beranak-pinak atau berkembang-biak. Setelah berkembang di tingkat lokal dan nasional, perusahaannya meluaskan kekuasaannya ke manca negeri sebagai TNC dan MNC seperti Exxon, Toyota Corporation, Citibank, McDonald dan IBM. Keuntungan yang ditimbun-timbun dalam "beternak" perusahaan dinamakan "akumulasi modal".


2.6. Mengapa minoritas justru berkuasa?

Tak dapat disangkal bahwa kaum pengusaha adalah golongan minoritas dalam masyarakat. Jumlah mereka paling banyak hanya 1 persen dari jumlah penduduk. Tapi mengapa mereka justru berkuasa dan terus berkuasa?
Pertama, ketika golongan borjuis melawan tuan tanah di masa feodalisme, mereka berhasil mengorganisasikan diri dengan cara-cara yang lebih maju, bahkan sangat maju. Kemajuan inilah yang memungkinkan mereka muncul sebagai kekuatan yang revolusioner. Dengan kemajuan perjuangan mereka, maka revolusi borjuis menjadi tak terhindarkan. Akhirnya mereka menang. Kemenangan ini mereka mantapkan dengan membangun sistem ekonomi - sebuah bangunan ekonomi yang terorganisasi - yang menempatkan mereka dalam kedudukan sebagai golongan yang berkuasa.
Kedua, sebagai golongan minoritas, pengusaha menemukan cara-cara dan alat-alat yang bisa mempertahankannya sebagai golongan berkuasa. Selain mengembangkan alat ekonominya (perusahaan), golongan pengusaha juga mewakilkan kepentingan politiknya kepada negara (state).
Pertama-tama mereka membutuhkan polisi dan tentara (pasukan bersenjata) untuk melindungi kepentingan-kepentingannya. Kemudia dibutuhkan tata administrasi negara dan perundang-undangan yang melegalkan keberadaan kekuasaan ekonomi pengusaha khususnya hak milik pribadi atas perusahaan. Jadi, negara hanyalah alat politik bagi pengusaha. Bahkan secara telanjang, sering terjadi bahwa militer menjadi alat penindas terhadap golongan masyarakat tertentu yang melakukan oposisi. Untuk menghidupi negara, golongan pengusaha menyediakan uang pajak. Kemudian pajak diberlakukan secara umum kepada masyarakat.
Ketiga, golongan pengusaha juga mampu mengorganisasikan para politisi ke dalam partai-partai politik pro pengusaha. Mereka memberikan sumbangan uang agar partai-partai ini menyuarakan kepentingan-kepentingannya baik yang partai yang memerintah maupun yang oposisi. Selain itu, pengusaha juga membentuk asosiasi-asosasi di kalangan mereka sendiri baik sektoral maupun umum. Juga organisasi-organisasi massa yang sejalan dengan pikiran-pikiran pengusaha.
Keempat, untuk lebih memantapkan kekuasaannya, golongan pengusaha juga membutuhkan sarana-sarana pendidikan. Memang sekolah dan universitas menjadi sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian ilmiah. Tapi sekaligus pula menjadi sarana penanaman pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang sesuai dengan kepentingan pengusaha. Dalam sarana pendidikan ini setiap orang yang mengikuti pendidikan diajarkan teori-teori sosial terutama teori-teori ekonomi borjuis. Selain menjalankan fungsi ideologi, sarana (institusi) pendidikan menghasilkan kembali (reproduksi) tenaga kerja. Golongan pengusaha akan memperoleh tenaga-tenaga terdidik dan terampil dari orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi.
Kelima, golongan pengusaha juga mengorganisasikan sarana-sarana kebudayaan seperti gaya hidup, terutama dengan mengembangkan budaya konsumeristik serta kebutuhan-kebutuhan semu (artifisial). Juga diciptakan simbol-simbol atau mitos-mitos yang menunjukkan gengsi atau kebanggaan dalam mengikuti kebudayaan borjuis. Bahkan melalui penciptaan tokoh-tokoh atau figur publik yang disanjung-sanjung atau dipuja-puja.
Keenam, golongan pengusaha mengembangkan alat-alat propagandanya melalui media massa cetak, radio, televisi dan film. Mereka juga mengembangkan iklan-iklan sebagai alat kampanye produk-produk yang dihasilkan perusahaan-perusahaannya. Ditambah lagi dengan buku-buku yang disebarluaskan demi mencapai tujuan propaganda golongan pengusaha. Setiap hari masyarakat dipaksa mengunyah dan memakan propaganda tersebut.
Dengan kemampuan golongan pengusaha dalam mengorganisasikan sarana-sarana politik, pendidikan, kebudayaan dan propaganda yang efektif dan berhasil secara umum, maka mereka telah menjadikan kekuasaannya begitu terorganisasi. Sampai pikiran pun dibentuk menurut logika kerja kepentingan pengusaha. Karena itu, walaupun pengusaha adalah golongan minoritas, tapi mereka tetap golongan yang berkuasa.

2.7. Bagaimana bangunan "masyarakat pengusaha"?

Masyarakat yang kita sebut "masyarakat pengusaha" (masyarakat kapitalis) adalah masyarakat yang dibentuk dan diatur menurut cara-cara, fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan yang diabdikan untuk kepentingan pengusaha secara keseluruhan - bukan sendiri-sendiri. Jadi, sistem masyarakat ini dibangun berdasarkan atas logika kerja kepentingan keseluruhan (umum) golongan pengusaha (kapitalis).
Bangunan "masyarakat pengusaha" bukanlah bangunan orang seorang, melainkan bangunan yang sistematisdan terorganisasi. Dengan begitu, sistem ekonomi pengusaha bukan hanya langgeng, tapi juga dapat memperbaiki dirinya sendiri berdasarkan logika kerja yang sudah dioperasikanya dan terus berkembang. Sistem kekuasaan pengusaha, dapat mengatur perkembangan dan kemajuan sesuai dengan logika kerja kepentingan mereka.
Pertama, golongan pengusaha sudah memungkinkan berfungsinya negara, partai-partai politik (termasuk multipartai), asosiasi-asosiasi pengusaha (bahkan dalam hubungan internasional membentuk WTO - organisasi perdagangan dunia), hukum dan perundang-undangan, sarana-sarana pendidikan, kebudayaan, dan media propaganda. Dengan berfungsinya alat-alatnya, maka sistem yang telah dibangunnya dapat langgeng.
Kedua, perselisihan-perselisihan di antara pengusaha maupun terhadap buruh, dapat mereka selesaikan dengan peraturan-peraturan dan pengadilan-pengadilan. Mereka juga bersedia untuk melakukan perundingan dalam mencapai kesepakatan sejauh tidak merugikan. Dengan adanya media seperti ini "peperangan sesama pengusaha" tidak mengakibatkan kehancuran bagi sistem yang telah mereka bangun, walaupun mereka sempat mengalami dua perang dunia. Begitu juga perselisihan mereka terhadap buruh, akan sekeras mungkin mereka belokkan untuk tidak membuahkan revolusi kaum buruh.
Ketiga, golongan pengusaha telah menciptakan dan mengembangkan arah yang logis bagi perkembangan masyarakatnya dengan meletakkannya di bawah telapak kaki kepentingannya. Seluruh penduduk tunduk pada arah yang dirancangnya. Karena itu, golongan pengusaha adalah pemimpin moral, politik dan intelektual bagi seluruh masyarakatnya.

2.8. Apa sumber gerak yang dinamis pengusaha?

Tujuan atau motif pengusaha adalah mengejar dan melipatgandakan keuntungan. Tapi, untuk apakah keuntungan-keuntungan tersebut digunakan?
Pertama, pengusaha tidaklah menghabisi semua keuntungan untuk diri dan keluarganya sendiri. Bagi seorang pengusaha sejati, setiap sen atau rupiah keuntungan yang dikeruknya, disisihkan sebagian untuk ditanamkan kembali guna mengembangkan perusahaannya agar dia dapat melipatgandakan keuntungan. Dan seterusnya, ditanamkan kembali. Dengan begitu, pengusaha dapat "beternak perusahaan". Inilah "akumulasi modal".
Kedua, pengusaha sejati akan menumpuk-numpuk modalnya ke dalam berbagai perusahaan, sehingga kekuasaannya (ekonomi) meluas dan terus meluas bahkan menjangkau dunia dengan TNC dan MNC sebagai kekuatan monopoli. Mereka akan mulai dari penumpukan awal dan kemudian terus digenjot dengan penumpukan yang intensif atau "akumulasi intensif" melalui peningkatan teknologi produksi (tinggi) agar kemampuan kekuasaannya dapat merajalela dalam jangka panjang.

2.9. Bagaimanakah cara-cara pengusaha baru muncul?

Semakin berkembang dan maju maupun semakin bertambahnya jumlah penduduk suatu masyarakat, semakin bertambah pula jumlah pengusaha baru yang muncul ke dunia kapitalis. Ada berbagai cara mereka muncul.
Pertama, mereka bisa berasal dari golongan pekerja profesional yang bergaji tinggi dan memiliki keahlian tertentu. Mereka mengumpulkan sejumlah uang untuk dijadikan modal awal dalam membangun sebuah perusahaan yang bergerak di bidang tertentu sesuai dengan keahlian mereka. Misalnya, sebuah perusahaan periklanan di mana mereka sebelumnya bekerja sebagai pekerja pembuat iklan.
Kedua, orangtua mereka mewariskan harta tertentu. Mereka mengajukan pinjaman kredit kepada sebuah bank dengan jaminan harta warisan tersebut. Mereka melihat peluang untuk membangun sebuah perusahaan atas dasar kemampuan mereka melihat peluang dan keahlian pribadinya. Dan mereka mempekerjakan sejumlah orang di samping mereka juga bekerja sebagai direktur atau manajer.
Ketiga, orangtua mereka mewariskan kekayaan yang cukup besar. Dengan kekayaan ini mereka bisa membangun dan menjalankan sebuah perusahaan. Mereka bisa mempekerjakan sejumlah orang mulai dari bawah sampai tingkat direktur.
Keempat, mereka bisa mengajukan pinjaman kredit kepada bank dengan cara menyogok orang-orang yang bekerja di bank tersebut. Dengan kredit ini mereka membangun dan menjalankan sebuah perusahaan. Tapi setiap kredit haruslah dikembalikan, karena mereka membangun perusahaan dengan utang.
Kelima, mereka bisa berasal dari pedagang toko atau pedagang lainnya (bukan berbentuk perusahaan), berkat keuntungan-keuntungan yang sejak lama dikumpulkannya untuk kemudian meningkat dengan mendirikan dan menjalankan sebuah perusahaan.
Keenam, mereka bisa berasal dari orang-orang muda yang kreatif berkat keahlian tertentu yang dimilikinya sejak masih menjadi mahasiswa. Bersama beberapa rekannya, mereka bersepakat membentuk dan menjalankan sebuah perusahaan dengan modal awal yang sangat pas-pasan. Perusahaan ini bergerak sesuai dengan bidang keahlian mereka.
Ketujuh, mereka bisa pula muncul berkat fasilitas politik melalui sebuah rezim politik otoriter dan korup. Bila negerinya memiliki kekayaan alam yang melimpah, akan cepat tumbuh besar. Pengalaman ini bisa ditelusuri dari jaringan bisnis Soeharto, anak-anak dan cucunya maupun kroni-kroninya.
Pengusaha-pengusaha baru itu pada umumnya adalah golongan pengusaha kecil, kecuali yang mendapatkan fasilitas politik yang luas. Mereka harus bertarung dengan pengusaha-pengusaha lainnya. Mereka bisa saja mengalami sukses dan bisa pula bangkrut atau gulung tikar. Jaminannya terletak pada seberapa besar keuntungan yang bisa dipetik dan seberapa besar pula keuntungan tersebut ditanamkan kembali.

2.10. Mengapa pengusaha bersaing?

Sesama pengusaha pastilah menghadapi pertarungan atau biasa disebut persaingan. Mereka harus saling mengalahkan di antara sesama pesaingnya bila tak ada jalan kompromi atau kesepakatan. Mengapa sesama mereka menghadapi persaingan?
Pertama, golongan pengusaha selalu berurusan dengan pasar. Perusahaan mereka bukan hanya mengeluarkan sejumlah uang untuk memperoleh komoditas (alat-alat produksi dan tenaga kerja), tapi juga produk-produk yang dihasilkan semuanya juga komoditas (barang dagangan), sehingga semuanya harus dilempar ke pasar. Di sinilah mereka harus saling bertempur. Misalnya, pengusaha pemilik industri pakaian jadi akan bersaing dengan sesamanya untuk memperebutkan pasar: keuntungan. Dalam keadaan yang begitu keras, pertempuran mereka telah mengakibatkan dua perang dunia.
Kedua, pasar punya mekanisme atau aturannya. Pasar bebas ditegakkan oleh aturan hukum: permintaan dan penawaran. Bila penawaran tinggi, maka permintaan menjadi rendah, dan begitu pula sebaliknya. Bila permintaan tinggi, pengusaha bisa bermain dengan harga yang tinggi pula. Tapi, bila penawaran tinggi, mereka mungkin terpaksa banting harga. Pasar menjadi mekanisme seleksi kekuatan para pengusaha. Mereka yang kalah akan berisiko bangkrut.
Ketiga, pasar juga tak selalu bebas, karena ada politik yang membentenginya dengan kebijakan proteksi. Pengusaha-pengusaha besar Orde Baru di seputar Istana Soeharto, menikmati kebijakan proteksi, sehingga menjadi penguasa pasar: monopoli secara politik. Mereka menjadi pemimpin para pengusaha di Indonesia walaupun dengan memanfaatkan uang negara seperti dalam kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

2.11. Adakah krisis yang dihadapi pengusaha?

Motif semua pengusaha adalah mengeruk untung yang sebesar-besarnya. Untuk itulah mereka digerakkan guna menangguk untung besar. Pada umumnya, mereka menggenjot produksi. Jumlah produk yang dihasilkan meningkat dan bertambah banyak, yang mengakibatkan volume pasar dilampauinya.
Pertama, krisis bisa diakibatkan oleh "kelebihan produksi". Sesuai aturan hukum pasar: permintaan terdesak oleh penawaran. Pasar menjadi jenuh. Barang dagangan dianggap terlalu banyak. Akibatnya, terjadi krisis kelebihan produksi. Bagi pengusaha, krisis berarti terancam bangkrut. Barang dan jasa yang mereka produksi bisa tak laku akibat kelebihan produksi.
Kedua, pengusaha juga dapat mengalami krisis akibat spekulasi valuta asing dan sogok-menyogok (korupsi). Kita mengenalnya sebagai krisis moneter. Indonesia mengalami sejak 1997. Nilai tukar dollar AS melambung, rupiah anjlok. Buntutnya harga barang impor melonjak dan diikuti barang dan jasa dalam negeri. Inflasi tak terbendung dan daya beli masyarakat merosot. Sejumlah pengusaha mengalami kebangkrutan atau pailit serta utang-utang mereka tak terbayar.
Ketiga, akibat pertikaian dagang antar-negeri, dapat menyeret mereka ke dalam peperangan. Perang Dunia I dan II adalah contohnya bagaimana krisis di antara mereka telah melibatkan dalam satu perang dan ke peperangan berikutnya. Mereka tak peduli berapa korban akibat krisis maupun akibat peperangan. Yang penting adalah keselamatan dan keuntungan perusahaan mereka. Karena itu, juga diadakan perdamaian, yakni kesepakatan-kesepakatan yang dicapai di meja perundingan.
Krisis adalah gejala umum dalam "ekonomi pengusaha". Persaingan-persaingan dan motif-motif yang ada di antara mereka, telah menyebabkan mereka untuk saling menjatuhkan. Tapi mereka juga dapat menyepakati untuk tetap berada di dalam sistem ekonomi yang sudah mereka bangun. Sehingga krisis-krisis ini - melalui bantuan negara dan pengusaha pada umumnya - dapat diselamatkan dari kehancuran.
2.12. Bagaimana pengusaha mengatasi krisis?
Krisis berarti sistem ekonomi pengusaha atau perusahaan yang dimiliki pengusaha sedang terancam bangkrut. Bagaimana para pengusaha mengatasi krisis yang dihadapi?
Pertama, golongan pengusaha berusaha merundingkan krisis yang dialami di antara mereka untuk mencari penyelesaian. Mereka meminta bantuan negara untuk ikut menyelesaikan atau memulihkan perekonomian atau perusahaan mereka dari krisis. Selain itu, mereka juga dapat mengurangi jumlah buruh demi menyehatkan kembali perusahaan mereka yang hampir bangkrut.
Kedua, mereka juga belajar dari krisis, untuk meneliti kekeliruan-kekeliruan yang telah mereka lakukan. Penelitian ini berguna untuk menata ulang dan memperbaiki sistem ekonomi dan perusahaan mereka. Mereka giatkan penelitian-penelitian yang dirancang oleh lembaga-lembaga penelitian nasional maupun internasional seperti Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund).
Ketiga, untuk tingkat regional maupun internasional, mereka mengutus pemerintah-pemerintah, untuk merundingkan pembentukan sarana-sarana seperti APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa), WTO (World Trade Organization), G-7 (kelompok negara Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Italia, Kanada dan Perancis), serta kesepakatan kawasan perdagangan bebas seperti AFTA (ASEAN Free Trade Area), NAFTA (Amerika Utara), dan penyatuan mata uang Eropa (euro).
Itulah kesepakatan-kesepakatan agar tidak menghancurkan sistem yang telah mereka bangun dan kemudian memperbaikinya agar dapat terus melanjutkan hidupnya sistem yang ada di tangan pengusahah mereka secara keseluruhan.
2.13. Siapa yang dibutuhkan pengusaha bagi perusahaan?
Pengusaha memang tak bisa menjalankan perusahaan atau usahanya sendiri. Mereka butuh orang lain. Mereka butuh orang-orang yang bekerja untuk kepentingannya. Setiap memulai pembangunan perusahaan, mereka sudah butuh orang-orang yang bekerja untuknya. Apalagi ketika perusahaannya mengalami perkembangan.
Pengusaha selalu butuh orang-orang yang dipekerjakan untuk membuat perusahaannya berjalan dan menghasilkan barang atau jasa. Atas kerja dan tenaga kerja yang dikeluarkan oleh orang-orang yang dipekerjakan pengusaha itulah keuntungan bisa diperoleh.
Pengusaha sering menggunakan tahapan dari penanaman modal kepada pengembalian modal (titik impas). Bila titik impas dilampaui, mereka mulai mengatakan untung dan perusahaan dapat berkembang. Ketika berkembang, mereka semakin butuh buruh. Semakin pesat, semakin butuh banyak buruh.
Pengusaha tak mungkin sampai titik impas tanpa buruh yang mengeluarkan tenaga kerja untuknya. Demikian pula laba yang diperolehnya dan berikutnya laba yang berlipat-ganda. Artinya, dalam membangun dan mengembang-biakkan perusahaannya, pengusaha selalu butuh kaum buruh.
selengkapnya... Ekonomi Politik Kaum Buruh (2)

komentar (0) / Read More

/ Label:

Ekonomi Politik Kaum Buruh (3)

BAB III
Buruh dan Upah

*Suryadi A Radjab

Orang-orang yang bekerja di perusahaan industri dan menerima upah, sudah biasa menyebut dirinya buruh. Orde Baru sering menyebut buruh dengan "karyawan". Sedangkan mereka yang bekerja di perusahaan jasa seperti bank dan perdagangan hampir tak ada yang menyebut dirinya sebagai buruh. Bahkan mereka yang bekerja dan diberi gaji di LSM, justru sering menyebut dirinya secara non-ekonomi sebagai "aktivis".
Sebutan yang berbeda-beda itu memang kenyataan yang tak terbantahkan. Buruh cenderung dipersepsikan sebagai orang-orang yang bekerja di pabrik. Akibat persepsi yang berbeda-beda ini, orang-orang yang menerima upah dan gaji, seakan-akan secara hakiki adalah berbeda-beda. Sehingga mereka tidak merasa sebagai satu golongan yang sama, yakni golongan yang diupah dan digaji. Siapakah memberlakukan cara berpikir seperti itu?
Cara melihat buruh haruslah didasarkan atas hubungan-hubungan kerja (produksi) di mana pun mereka bekerja, terlepas apakah bidangnya ekonomi (perusahaan), sosial, politik atau budaya. Baiklah kita susun pertanyaannya agar memudahkan kita mengenalinya lebih jauh.

3.1. Siapakah buruh itu?

Walaupun sering kita dengar istilah buruh, tapi ada baiknya kita rumuskan secara lebih tepat. Kerja dan hubungan kerja (produksi) - di bidang apa pun seseorang bekerja - merupakan pedoman dasar bagi kita untuk memeriksa kedudukan suatu golongan dalam masyarakat. Ada beberapa rumusan yang perlu kita susun.
Pertama, buruh adalah pemilik tenaga kerja, bukan pemilik alat-alat kerja (produksi/modal). Tenaga kerja ini digunakan untuk bekerja, baik kerja memproduksi televisi atau pakaian maupun kerja melayani tamu-tamu hotel dan restoran serta tenaga yang digunakan untuk kerja pelayanan sosial. Buruh adalah golongan yang tak memiliki alat-alat produksi.
Kedua, buruh adalah penjual tenaga kerja. Buruh dapat menjual tenaga kerjanya kepada siapa pun pembeli atau penyewanya, seperti kepada pemilik modal, kepada wakil pemerintah atau pemilik yayasan dan badan hukum lainnya. Buruh tidak menjual kerjanya, karena hasil-hasil yang dicapainya dari kerjanya, sama sekali tidak dijual kepada pengusaha. Jadi, tidak ada pembelian kerja oleh pengusaha. Buruh hanya menjual tenaga kerja. Karena itu, orang-orang yang disebut profesional di berbagai perusahaan - biarpun gajinya besar - atau pengurus ("aktivis") LSM yang digaji, mereka tetap saja sama hakekatnya dengan buruh di pabrik-pabrik: penjual tenaga kerja.
Ketiga, buruh adalah golongan upahan atau pemakan gaji. Bila seseorang yang bekerja di pabrik, pasti tahu apa yang dia terima dari jual-beli. Buruh dibayar upah (sejumlah uang) dan pengusaha dapat tenaga kerjanya untuk waktu sehari, seminggu, sebulan, setahun, dan seterusnya. Begitu juga, orang-orang yang bekerja di perusahaan jasa, LSM, kantor pengacara atau akuntan publik, kantor pemerintah, setelah menjual tenaganya, mereka dibayar uang gaji. Buruh adalah golongan yang diupah dan digaji.
Keempat, buruh bukanlah pemilik hasil kerjanya. Walaupun hasil dari bekerja yang telah dicapainya, tidak satu pun hasilnya dimiliki buruh. Hasil-hasil yang telah dikerjakan buruh dalam bekerja, tidaklah menjadi hasil mereka, karena seluruhnya telah menjadi milik pengusaha yang mempekerjakannya. Jadi, tak satu pun hasilnya menjadi milik buruh. Seluruh hasil kerja buruh mutlak (absolut) milik pengusaha.
Kelima, buruh hanya mendapatkan penat, lelah dan capek setelah bekerja. Dalam kegiatan kerja (produksi), buruh tak mendapatkan apa-apa, kecuali mendapatkan rasa penat, lelah dan capek. Hasil-hasil yang sudah dikerjakannya, sudah mutlak menjadi milik orang lain yakni orang yang mempekerjakannya. Dalam kerja, tenaga kerja buruh diperas yang menyebabkannya penat, lelah dan capek.
Keenam, buruh adalah golongan yang dipekerjakan. Buruh bukan pihak yang mempekerjakan orang lain, melainkan justru dipekerjakan oleh orang lain (pengusaha) dan pemilik (penguasa) badan hukum. Karena itu, buruh bukan pihak yang menentukan dan mengendalikan proses kerja.
Ketujuh, buruh adalah golongan mayoritas dalam hubungan kerja-upahan. Dalam perusahaan, pusat perbelanjaan dan perkantoran, jumlah buruh jauh lebih banyak ketimbang pengusaha atau golongan yang mempekerjakan mereka. Walaupun mayoritas, buruh ditentukan dan dikendalikan oleh pihak yang mempekerjakan mereka. Artinya, buruh dikuasai dan diperintahi untuk bekerja sesuai target atau kepentingan pihak minoritas yang berkuasa.

3.2. Mengapa buruh muncul?

Kemunculan golongan pengusaha (borjuis) sebagai penguasa baru ekonomi telah dimantapkan dengan berfungsinya berbagai perangkat sistem ekonomi, politik, hukum dan budaya. Pengusaha di mana saja dan kapan saja, selalu membutuhkan kaum buruh.
Pertama, revolusi industri telah memunculkan golongan revolusionernya yang disebut borjuasi (pengusaha). Kemajuan ini telah mendorongnya membangun perusahaan-perusahaan industri yang dimiliki secara pribadi. Pengusaha industri menjadi pemimpin dan penguasa baru dalam ekonomi, kemudian politik, hukum, budaya dan ideologi. Tapi perusahaan-perusahaan membutuhkan buruh-buruh industri.
Kedua, kebutuhan pengusaha atas kaum buruh, karena pengusaha membutuhkan orang-orang yang dipekerjakannya. Pengusaha membangun perusahaan, tapi perusahaan hanya bisa berjalan dan berkembang bila buruh menjalankannya. Berputarnya roda perusahaan (produksi) berarti terbentuknya lapisan buruh sebagai golongan yang dipekerjakan.
Ketiga, pengusaha memberlakukan sistem upah atau hubungan kerja-upahan. Sistem ini mengubah tenaga kerja menjadi komoditas (barang dagangan). Siapa pun yang dipekerjakan pengusaha, akan masuk sebagai golongan upahan, yakni golongan yang diupah. Sistem upah telah memunculkan sebuah lapisan yang disebut buruh.
Keempat, buruh tidak memiliki alat-alat produksi, padahal untuk bekerja harus tersedia alat-alat produksi. Karena itu, satu-satunya miliknya berupa tenaga kerja, terpaksa dijual untuk dihisap sebagai golongan upahan. Golongan ini berubah menjadi buruh, bekerja kepada pemilik alat-alat produksi (pengusaha).
Begitulah cara berfungsinya mekanisme pasar tenaga kerja dan aturan-aturan hubungan kerja-upahan yang ditentukan dan diberlakukan oleh golongan pengusaha terhadap golongan buruh. Buruh terpaksa harus menjalaninya mekanisme dan aturan-aturan tersebut.

3.3. Apakah upah itu?

Upah dan gaji sudah menjadi gambaran umum dalam berbagai masyarakat di mana saja yang hubungan-hubungan kerja ditentukan dan diatur atau dikendalikan oleh golongan pengusaha dan pihak yang mempekerjakan buruh.
Pertama, upah adalah hubungan pertukaran antara buruh dan pengusaha. Hubungan pertukaran terjadi ketika buruh menawarkan tenaga kerjanya dan pengusaha membeli atau menyewanya dengan sejumlah uang: sepuluh ribu, seratus ribu, sejuta, atau sepuluh juta. Buruh menukarnya dengan tenaga kerjanya kepada pengusaha. Buruh menyediakan tenaganya untuk digunakan pengusaha: sehari, seminggu, sebulan, setahun, atau sepuluh tahun.
Kedua, upah adalah harga tenaga kerja yang dikeluarkan seorang buruh per hari (delapan jam). Begitu juga, gaji adalah harga tenaga kerja yang dikeluarkan seorang buruh per bulan. Uang diberikan pengusaha dan buruh menukarnya dengan tenaga kerja. Jadi, tenaga kerja telah diubah menjadi komoditas (barang dagangan).
Ketiga, upah sama sekali bukanlah hubungan produksi. Di sini terjadi hubungan jual-beli (pasar tenaga kerja): antara penjual dan pembeli (penyewa). Hukum pasar berlaku. Bila calon buruh melimpah, harga tenaga kerja akan menjadi murah. Bila sedikit, tingkat upahnya menjadi lebih tinggi.
Keempat, hubungan upah adalah hubungan yang dibentuk, diatur dan diberlakukan dipertahankan oleh pengusaha dalam mempekerjakan buruh. Akibatnya, buruh dipaksa tunduk untuk mengikuti dan mematuhi mekanisme dan aturan-aturan bahkan pikiran dan teori-teori yang melanggengkan hubungan upahan tersebut.

3.4. Mengapa buruh diupah?

Tentu kita terus mengejar dasarnya: mengapa buruh diupah? Apa yang mendasari munculnya sistem upah?
Pertama, terjadi perkembangan bahwa alat-alat produksi dimiliki secara pribadi. Pemilik modal ini disebut pengusaha. Maka, orang-orang yang tidak memiliki alat-alat produksi dipaksa bekerja kepada para pemilik modal tersebut.
Kedua, tenaga kerja telah diubah menjadi komoditas. Untuk bisa bekerja kepada pemilik modal, buruh dipaksa harus mengubah tenaga kerjanya menjadi komoditas. Dengan perubahan ini, pengusaha membelinya dan membayarnya dengan sejumlah uang yang disebut upah.
Ketiga, aturan yang diberlakukan pengusaha itu telah memaksa buruh tunduk. Buruh tak punya alat-alat produksi, padahal buruh punya tenaga kerja. Buruh tak mungkin bekerja - mengeluarkan tenaga kerjanya - tanpa alat-alat produksi. Akibatnya, satu-satunya miliknya (tenaga kerja) terpaksa dijualnya kepada pengusaha untuk bisa bekerja.

3.5. Apakah upah buruh sudah layak?

Tingkat upah atau gaji buruh memang bermacam-macam besarnya. Ada yang sangat rendah dan ada pula yang sudah layak. Bagi buruh yang disebut profesional dan buruh setingkat manajer, gaji mereka relatif layak. Dengan gaji itu mereka bisa memenuhi banyak kebutuhan termasuk beli mobil dan rumah yang memadai.
Tapi berbeda dengan upah buruh di banyak perusahaan industri manufaktur ringan. Kepada mereka diberlakukan upah yang rendah. Upah harian yang diterimanya cuma cukup buat bertahan hidup sehari. Misalnya, upah Rp 10.000 per hari cuma cukup buat 2 kali makan di Warung Padang.
Walaupun ada buruh kerah putih (white collar) yang bergaji tinggi, tapi sebagian besar (mayoritas) buruh yang pada umumnya adalah buruh kerah biru (blue collar) yang justru diupah rendah. Perbedaan tingkat upah ini berlangsung pada perusahaan yang berbeda-beda pula.
Karena mayoritas buruh masih diupah dengan tingkat upah yang rendah, maka secara umum dapat dikatakan bahwa upah buruh belum layak. Buruh Indonesia - dengan upah dan gaji yang diterimanya - masih menghadapi masalah upah yang rendah.

3.6. Apa penyebab upah buruh rendah?

Ada beberapa sebab tentang mengapa tingkat upah buruh di Indonesia sangat rendah. Berikut ini disusun alasan-alasannya.
Pertama, upah biasanya mengikuti aturan hukum pasar: permintaan dan penawaran terhadap tenaga kerja. Jumlah calon penjual tenaga kerja (termasuk angka pengangguran) yang melimpah, melemahkan posisi tawar buruh terhadap penyewa atau pembeli tenaga kerja (pengusaha). Belum lagi ditambah dengan banyak jumlah buruh yang di-PHK. Akibatnya, upah sebagai harga tenaga kerja mengalami kemerosotan.
Kedua, penentuan upah juga didasarkan oleh kebijakan pemerintah. Selama Orde Baru, pemerintah menetapkan tingkat upah yang rendah bagi buruh melalui pemberlakuan UMR. Survei dan penelitian upah yang dilakukan pihak pemerintah hanya sekadar untuk membenarkan ukuran-ukuran upah yang rendah. Tak ada rencana kebijakan pemerintah untuk menyejahterakan buruh.
Ketiga, masih terjadi diskriminasi rasial terhadap buruh Indonesia. Tampak pikiran rasialis dalam memandang buruh Indonesia ketika dibandingkan buruh dari luar negeri yang bekerja di Indonesia seperti dari Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan, bahkan India. Sejumlah perusahaan yang mempekerjakan buruh asing ini memberlakukan upah yang tinggi dan fasilitas yang memadai, sementara buruh-buruh Indonesia diberlakukan upah yang rendah.
Keempat, upah buruh juga menghadapi faktor inflasi. Ketika harga barang dan jasa melambung, upah buruh justru merosot secara riil. Bila sebelumnya, dengan upahnya sehari bisa membeli sepotong kemeja, ketika harga-harga naik justru hanya mampu membeli tiga per empatnya. Artinya, sebanyak seperempat upahnya secara riil sudah merosot.
Kelima, buruh masih lemah dalam membangun dan mengembangkan kekuatannya sebagai kekuatan yang terorganisasi. Orde Baru telah memporak-porandakan kekuatan buruh. Sedangkan buruh sendiri sangat terpecah-belah. Buruh kerah putih hampir tak pernah menyatakan dirinya buruh, sehingga miskin solidaritas. Tanpa organisasinya, buruh tak bisa menaikkan posisi tawarnya, khususnya dalam menuntut upah yang layak.

3.7. Apakah buruh butuh pengusaha?

Walaupun sistem, mekanisme dan hubungan kerja diatur menurut cara-cara, fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan yang sesuai dengan kepentingan golongan pengusaha secara keseluruhan, tapi buruh selalu terikat hubungannya dengan pengusaha sebagai dua golongan yang saling membutuhkan. Kedua terikat dalam sebuah sistem hubungan produksi.
Pertama, buruh membutuhkan pengusaha. Buruh tidak mungkin bekerja tanpa berhubungan dengan pengusaha. Karena, alat-alat produksi berada di tangan pengusaha. Tanpa alat-alat kerja, tidak akan ada kerja. Karena itu, buruh butuh pengusaha sebagai pemilik alat-alat produksi.
Kedua, buruh membutuhkan upah dalam bentuk uang. Untuk itu, buruh harus menjual tenaga kerjanya dengan cara mengikatkan diri dalam hubungan kerja-upahan. Dalam logika kerja hubungan ini buruh bergantung pada upah dan dengan sendirinya bergantung pada pengusaha (pembayar upah). Dengan uang upah inilah buruh membeli berbagai komoditas untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Ketiga, tidak ada kaum buruh tanpa kaum pengusaha. Keduanya hidup dalam sebuah hubungan produksi yang sama: kapitalisme. Sistem produksi yang dikuasai dan diatur kaum pengusaha inilah yang mengorganisasikan kaum buruh untuk bekerja. Keberadaan buruh ditentukan oleh keberadaan pengusaha karena keduanya hidup dalam sistem yang sama.
Keempat, memang buruh butuh pengusaha, tapi hubungan ini ditentukan dan diatur oleh pengusaha. Sehingga PHK (pemutusan hubungan kerja) dapat saja dilakukan pengusaha. Buruh bisa diberi sanksi dan dipecat. Bila hubungan kontrak sudah berakhir, pengusaha dapat saja tidak memperpanjangkan kontrak kerja tersebut. Sebaliknya, buruh tak mungkin memberi sanksi dan memecat pengusaha.

3.8. Di manakah posisi buruh dalam masyarakat?

Setiap masyarakat dari awal sampai sekarang terbentuk dan berkembang dalam sebuah struktur tertentu. Sekarang kita hidup dan berkembang dalam "masyarakat pengusaha". Begitu juga kaum buruh. Seluruh golongan masyarakat hidup dan berkembang dalam sistem, mekanisme, kekuatan-kekuatan, cara-cara, fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan yang sesuai dengan kepentingan pengusaha secara keseluruhan. Di manakah posisi buruh?
Pertama, buruh berada dalam sistem ekonomi (produksi) yang selalu bersama-sama dan terikat hubungan dengan pengusaha. Buruh terikat dalam hubungan kerja-upahan sebagai golongan yang diupah.
Kedua, buruh merupakan golongan yang bekerja untuk menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa. Semua hasil kerja buruh ini kemudian disebarluaskan melalui pasar - pasar dalam negeri maupun ekspor - untuk pemenuhan kebutuhan riil masyarakat.
Ketiga, sistem ekonomi bersifat menentukan. Artinya, sistem politik, budaya dan ideologi harus mengabdi kepada ekonomi. Dengan begitu, buruh berada dalam posisi sistem pengusaha (ekonomi) yang menentukan politik, hukum, budaya dan ideologi.
Memang semua kekuatan masyarakat mengikuti logika kepentingan pengusaha secara keseluruhan. Tapi dengan posisi buruh yang saling berhubungan dengan pengusaha, maka posisi buruh pun sangat penting (strategis) sebagai golongan yang bekerja memproduksi barang-barang dan jasa-jasa bagi pemenuhan kebutuhan riil masyarakat.

3.9. Apakah buruh terkurung dalam sistem pengusaha?

Golongan pengusaha adalah golongan penguasa yang sebenarnya. Karena mereka menguasai ekonomi - sistem yang menghasilkan kebutuhan riil masyarakat. Siapa yang menguasai ekonomi, mereka itulah yang berkuasa. Apakah buruh terkurung dalam kekuasaan pengusaha?
Buruh terikat dalam hubungan kerja (ekonomi) yang dibentuk, diatur dan dikembangkan menurut kepentingan pengusaha. Keterikatan ini bisa dikatakan bahwa buruh terkurung dalam ikatan-ikatan kerja yang mengabdi pada kepentingan pengusaha. Kondisi struktural ini memang tak terhindarkan, karena begitulah caranya kekuasaan kaum pengusaha berfungsi.
Bukan hanya buruh yang terkurung atau tertawan dalam struktur ekonomi yang berkembang sekarang ini, tapi juga seluruh golongan masyarakat mengikuti logika kepentingan pengusaha secara keseluruhan. Memang tak semua golongan adalah buruh dan pengusaha, tapi sepanjang mereka hidup dan berkembang dalam sistem pengusaha, mereka dipaksa harus menjalankan fungsi sesuai dengan sistem pengusaha.
Penguasaha tidak hanya menguasai ekonomi, melainkan juga menjalankan kepemimpinan moral, politik dan intelektual dengan berbagai alatnya. Sehingga praktis menguasai seluruh alat dan kekuatan di masyarakat.

3.10. Apa yang dihasilkan buruh?

Walaupun buruh terkurung dalam ikatan-ikatan yang dibentuk dan diatur pengusaha, tapi penting pula untuk diperhatikan apa yang dihasilkan buruh dalam memperlihatkan kehebatannya kepada masyarakat.
Pertama, buruh adalah golongan yang menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa bagi pemenuhan kebutuhan "masyarakat pengusaha". Artinya, tanpa kerja buruh, maka kebutuhan-kebutuhan masyarakat pengusaha tidak akan terpenuhi. Ini berarti pula bahwa buruh telah mengerahkan tenaganya bagi masyarakat pengusaha.
Kedua, buruh telah menghasilkan berbagai kemajuan "masyarakat pengusaha". Mereka tak hanya menghasilkan pangan dan sandang, melainkan juga sarana-sarana perhubungan seperti jalan raya dan mobilnya, rel kereta api dan lokomotif beserta gerbong-gerbongnya, serta hubungan telekomunikasi melalui satelit. Buruh sudah membuat kapal-kapal pesiar dan pesawat-pesawat terbang yang cepat. Mereka juga menghasilkan bunker-bunker yang mengalahkan kehebatan piramid-piramid Mesir. Mereka menghasilkan gedung-gedung dan menara-menara pencakar langit yang mengalahkan Candi Borobudur. Begitu juga dengan stadion-stadion sepakbola yang megah yang mengalahkan kemegahan Coloseum Romawi. Mereka bangun kota-kota besar dunia yang gemerlap seperti New York, Paris dan Jakarta. Bahkan mereka sudah menghasilkan produk untuk bisa tinggal bertahun-tahun di stasiun ruang angkasa.
Ketiga, semua produk dan kemajuan peradaban masyarakat pengusaha dihasilkan berkat kemampuan kerja kaum buruh yang terkandung dalam tenaga kerja mereka. Berkat tangan-tangan terampil dan pikiran-pikiran cermerlang yang bersumber dari golongan yang diupah inilah kemajuan perabadan masyarakat pengusaha menjadi tidak terbendung lagi. Mereka berhasil menemukan micro-chip dan program-program software komputer yang menyebabkan kemajuan dapat dipercepat.
Sungguh luar biasa yang dihasilkan oleh kaum buruh. Pada berbagai barang dan jasa, telah tertanam tenaga kerja mereka di dalamnya. Dan itulah keistimewaan tenaga kerja: pembangun kemajuan dan peradaban masyarakat pengusaha.
selengkapnya... Ekonomi Politik Kaum Buruh (3)

komentar (0) / Read More

/ Label:

Ekonomi Politik Kaum Buruh (4)

BAB IV
Pengusaha dan Buruh

*Suryadi A Radjab

Dalam sistem ekonomi kapitalis, pengusaha dan buruh menempati kedudukan yang pokok (fundamental). Keduanya berada dalam hubungan produksi yang khas. Menyebut sistem kapitalis, yang dimaksudkan bukanlah tujuan dan kepentingan orang seorang pengusaha, melainkan keseluruhan pengusaha. Sistem berarti bangunan, kekuatan dan fungsinya secara keseluruhan.
Karena itu, hubungan keduanya perlu ditelusuri dalam sistem ekonomi dan produksi yang dibangun dan diatur oleh pengusaha secara keseluruhan. Apakah hubungan golongan pengusaha dan buruh itu saling bertentangan. Apakah juga saling membutuhkan? Bagaimana sebenarnya duduk soal hubungan kedua golongan tersebut?

4.1. Bagaimana hubungan pengusaha dan buruh?

Hubungan antara pengusaha dan buruh terletak di dalam hubungan produksi dan pasar sekaligus. Ciri khas corak produksi yang sekarang adalah produksi untuk pasar. Tujuan produksi adalah produksi untuk pasar. Caranya adalah dengan mengubah segala hal menjadi sesuatu yang dapat dipertukarkan atau diperdagangkan. Karena itu, setiap hasil produksi selalu harus dijual.
Dalam hubungan produksi (kerja), dengan membanting tulang atau bekerja seharian penuh pun, buruh sama sekali tidak mendapatkan apa-apa, kecuali penat, lelah dan capek. Seluruh hasil produksi, sepenuhnya (absolut) menjadi milik pengusaha. Tak satu pun menjadi milik buruh dari produk yang sudah diciptakannya.
Dalam hubungan pasar (pertukaran), buruh mendapatkan upah. Artinya, buruh menukarkan tenaga kerjanya dengan sejumlah uang: upah atau gaji. Pengusaha membayar upah setelah mendapatkan tenaga kerja yang digunakan dalam kegiatan kerja. Dengan begitu, tenaga kerja telah diubah hanya sekadar komoditas, persis seperti pakaian yang diproduksi buruh-buruh pakaian jadi.
Pengusaha memiliki alat-alat produksi. Untuk menjalankannya, pengusaha butuh tenaga kerja, karena ia tak bisa bekerja sendiri atau hanya sekeluarganya saja. Sedangkan buruh butuh uang (upah) untuk membeli komoditas lain bagi kebutuhan hidupnya, dengan cara menjual tenaganya untuk bekerja pada pengusaha. Hubungan keduanya jelas saling membutuhkan.
Sebaliknya, dalam hubungan produksi, buruh tak mendapatkan apa-apa. Buruh bekerja dengan mengeluarkan segenap tenaganya, tapi seluruh hasilnya justru dimiliki pengusaha. Buruh menghendaki upah atau gaji yang layak, tapi pengusaha justru menekan upah serendah mungkin demi untung sebanyak mungkin.
Dengan begitu, jelaslah terlihat bahwa hubungan keduanya justru saling bertentangan atau berlawanan. Karena, kepentingan antara pengusaha dan buruh memang tidak sejalan dan karena itu saling berlawanan.

4.2. Bagaimana posisi pengusaha dan buruh?

Karena pengusaha dan buruh terlibat dalam hubungan produksi, maka pastilah keduanya saling membutuhkan. Tapi keduanya juga saling bertentangan. Pertentangan ini karena posisi yang mereka tempati dalam hubungan produksi saling berlawanan.
Pengusaha adalah pemilik alat-alat produksi. Siapa yang menguasai alat-alat produksi, dia itulah yang berkuasa: memerintah dan menguasai hubungan dan hasil produksi. Pengusaha adalah golongan yang berkuasa. Tapi golongan berkuasa tak mungkin ada tanpa golongan yang dikuasai.
Sebaliknya, buruh hanya punya satu-satunya miliknya, yakni tenaga kerja. Tapi, tenaga kerja tak akan berfungsi bila tidak ada alat-alat produksi. Siapa yang tidak memiliki alat-alat produksi, dia tak punya kuasa. Karena itu, sebagai pemilik tenaga kerja, buruh diperintahi dan dikuasai oleh pengusaha.

4.3. Bagaimana pasar tenaga kerja terbentuk?

Satu-satunya cara yang dapat membuat tujuan produksi untuk pasar adalah dengan mengubah tenaga kerja menjadi komoditas (barang dagangan). Dengan begitu, terbentuklah pasar tenaga kerja. Di sinilah tempat (sarana) di mana tenaga kerja diperdagangkan atau diperjual-belikan.
Dalam pasar tenaga kerja, posisi buruh adalah penjual tenaga kerja. Buruh menawarkan barang dagangannya untuk digunakan tenaga kerjanya agar dapat dihisap dalam hubungan dan proses produksi (kerja). Buruh bebas menjual kepada pengusaha mana saja yang sudi membeli tenaganya.
Sedangkan posisi pengusaha adalah pembeli tenaga kerja. Pengusaha butuh sejumlah tenaga kerja bagi pemenuhan tujuan produksi. Pengusaha membeli atau menyewa dan segera digunakannya untuk dihisap dalam hubungan dan proses produksi. Pengusaha juga bebas menyewa tenaga buruh mana yang diandalkannya.
Dalam pasar tenaga kerja - persis seperti pasar pada umumnya - adalah hubungan antara penjual dan pembeli. Pasar jelas mengenal hukumnya sendiri: permintaan dan penawaran. Bila jumlah calon buruh melimpah, maka harga tenaga kerja akan sangat murah. Sebaliknya, bila jumlahnya calon buruh sedikit, harganya bisa melambung.

4.4. Bagaimana hubungan produksi yang terjadi?

Tujuan produksi adalah untuk pasar. Artinya, seluruh hasil produksi dipasarkan atau diperdagangkan. Pengusaha meng-uang-kan semua hasil produksi yang sudah dicapai. Karena, hasil produksi bukanlah untuk dikonsumsinya, tapi justru dijual atau dipasarkannya.
Dengan tujuan produksi seperti itu, pengusaha selalu berusaha mengerahkan kekuasaannya untuk memenuhi target (sasaran) produksi. Dalam rangka itulah pengusaha mengatur dan mengontrol jalannya produksi sesuai target. Pengusaha menyusun rencana dan mengawasi jalannya proses produksi melalui orang-orang yang ditugaskan untuk itu. Bahkan diawasi dengan ketat jalannya produksi, sehingga tak satu pun hasil produksi hilang dari pengawasan dan kepemilikannya.
Buruh menjadi golongan yang diperintahi, diatur dan diawasi untuk menjalani proses produksi. Dengan begitu, segenap tenaga kerjanya harus dikerahkan untuk mengolah dan menciptakan produk sesuai target produksi yang direncanakan pengusaha. Dan setiap produk yang dihasilkan sepenuhnya (absolut) menjadi milik pengusaha.

4.5. Apa motif pengusaha dan buruh?

Pengusaha dan buruh memang saling membutuhkan walaupun keduanya saling bertentangan. Buruh terpaksa harus bekerja pada pengusaha (pemilik alat-alat produksi). Dengan keterpaksaan buruh terhadap sistem ini pulalah sehingga pengusaha mempekerjakan buruh.
Dalam hubungan keduanya, pengusaha dan buruh punya motif yang berbeda. Apa motif pengusaha mempekerjakan buruh? Jelaslah bahwa pengusaha menghisap seluruh hasil produksi menjadi miliknya. Dengan cara ini, semua produk yang dihasilkan buruh itu kemudian dijualnya. Dengan perjualan inilah pengusaha memetik keuntungan (laba) setelah dikurangi upah (dan tunjangan) dan biaya alat-alat produksi.
Jadi, motif pengusaha adalah mengejar laba. Bila dimungkinkan, pengusaha akan mengeruk untung yang sebesar-besarnya. Prinsip teoritis pengusaha adalah "biaya produksi yang serendah-rendahnya dan keuntungan yang sebanyak mungkin." Prinsip ini pada umumnya menjadi pegangan pengusaha.
Lantas, apa motif buruh? Sebagai penjual tenaga kerja, buruh mendapat bayaran, yakni upah. Juga sebagai penjual tenaga kerja, buruh menawarkan harga tenaganya yang tinggi. Dengan begitu, upah yang lebih baik merupakan motif buruh. Motif inilah yang sering mereka teriakkan dalam berbagai kesempatan atau perselisihan terhadap pengusaha yang menjadi pembeli tenaganya.

4.6. Apa organisasi pengusaha dan buruh?

Sistem ekonomi adalah sebuah sistem yang dibangun dan dikelola oleh kekuatan yang terorganisasi. Tak mungkin berkembang dan bertahannya suatu sistem tanpa keteroganisasiannya. Sebagai sebuah sistem, produksi kapitalis juga berjalan secara terorganisasi di dalam satuan-satuan (unit-unit) produksinya. Bagaimana hal ini diletakkan dalam hubungan pengusaha dan buruh?
Pengusaha tak mungkin jadi satu golongan yang berkuasa tanpa mengorganisasikan kekuatannya. Bagaimana mereka mengorganisasikan kekuatan terutama ekonomi? Marilah kita periksa.
Pengusaha mengorganisasikan dirinya dengan cara mendirikan dan mengembangkan perusahaannya. Dengan kekuatan uangnya, pengusaha membangun perusahaan dan mempekerjakan orang-orang yang bersedia menjual tenaga kerja. Dengan begitu, perusahaan menjadi organisasi (alat) pengusaha dalam mengorganisasikan kekuatannya demi motif mengejar laba. Semua pengusaha melakukan hal yang sama: mengorganisasikan kekuatannya melalui perusahaan.
Bagaimana dengan buruh? Kaum buruh memang diorganisasikan oleh pengusaha melalui perusahaan. Bila buruh diorganisasikan oleh pengusaha belaka, maka buruh tidak bisa mengorganisasikan dirinya demi motif dan kepentingannya. Karena itu, kaum buruh punya caranya sendiri untuk mengorganisasikan kekuatannya, yakni dengan membentuk dan mengembangkan serikat buruh di perusahaan atau tempat kerjanya. Dengan serikat buruh inilah buruh menjadikannya sebagai alat perjuangannya terutama dalam memperjuangkan upah yang layak.
selengkapnya... Ekonomi Politik Kaum Buruh (4)

komentar (0) / Read More

/ Label:

Ekonomi Politik Kaum Buruh (5)

BAB V
Perjuangan Buruh

*Suryadi A Radjab

Memang buruh diikat dalam hubungan kerja (produksi). Tenaga kerja mereka diperas untuk memenuhi target produksi. Hubungan-hubungan ekonomi ini mengakibatkan buruh mengalami ketidakadilan.
Mereka juga dikekang aktivitasnya dan diperlakukan sewenang-wenang. Perundang-undangan, intimidasi dan teror telah menekan aktivitas buruh, bahkan mengalami penindasan dari aparat bersenjata. Akibatnya, buruh terus mengalami perpecahan dan sulit menyatukan kepentingannya secara terorganisasi.
Buruh berusaha keluar dari ketidakadilan ekonomi dan penindasan politik tersebut. Mereka mengembangkan cara-cara untuk keluar dari situasi ini baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Upaya buruh keluar dari situasi ini dapat dikatakan sebagai perjuangan buruh. Perjuangan ini terutama nampak dalam upaya meningkatkan kesejahteraan.
Perjuangan buruh itu merupakan suatu fakta yang tidak terbantahkan yang telah berlangsung sejak tumbuhnya lapisan buruh. Pada masa Orde Baru yang otoriter pun, buruh telah menunjukkan berbagai perjuangannya. Dan selama buruh merasa ada masalah, mereka akan terus melakukan perjuangan dalam berbagai kesempatan terutama dalam menuntut hak-hak mereka.
5.1. Apakah perjuangan buruh itu?
Perjuangan buruh adalah langkah-langkah dan tindakan-tindakan yang dilakukan buruh dalam mencapai tujuan tertentu baik perjuangan meningkatkan kesejahteraan maupun mempengaruhi kebijakan pemerintah atau negara untuk lebih melindungi hak-hak dan kepentingan buruh. Perjuangan buruh juga bisa meningkat secara politis.
Dalam perjuangan itu selalu digunakan cara-cara dan taktik-taktik dalam mencapai tujuan. Sebuah perjuangan bisa saja berhasil dan bisa pula gagal. Pada suatu saat meraih kemenangan terbatas, tapi pada kesempatan lain justru menemui kekalahan.
Kekalahan bisa digunakan sebagai pelajaran berharga agar perjuangan-perjuangan selanjutnya dapat diperbaiki untuk tidak menghasilkan kegagalan. Dan keberhasilan tidak bisa hanya diukur melalui hasil langsung pada tuntutan seperti upah langsung naik, melainkan juga hasil-hasil tak langsung seperti semakin banyaknya buruh ikut berjuang.
5.2. Bagaimana sifat politik perburuhan?
Tak ada kekuasaan ekonomi cuma dijalankan secara ekonomi belaka. Bukankah pengusaha telah menempuh cara-cara, mengorganisasikan kekuatan, membentuk fungsi-fungsi dan menyusun tujuan-tujuan yang sesuai dengan kepentingan mereka secara keseluruhan.
Atas dasar itu, pengusaha mewakilkan kepentingan-kepentingannya kepada "negara pengusaha" (capitalist state). Negara pengusaha inilah yang menjadi "wakil politik" yang legal dari pengusaha. Bagi buruh, mengenali politik berarti juga mengenali karakter "negara pengusaha" tersebut.
Pertama, pengusaha adalah golongan ekonomi minoritas yang berkuasa. Untuk dapat langgeng, pengusaha butuh alat politiknya yang legal, yakni "negara pengusaha". Negara ini berfungsi untuk melayani kepentingan-kepentingan pengusaha secara keseluruhan: menciptakan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk akumulasi modal dan menghasilkan kembali sistem pengusaha. Termasuk pula fungsi menundukkan seluruh penduduk terutama buruh di bawah kepentingan pengusaha.
Kedua, agar terkesan mengakomodasi kepentingan semua golongan, diberlakukan sistem multipartai, parlemen dan perundang-undangan. Bisa saja dalam pemilihan umum, wakil-wakil buruh dapat suara dan masuk parlemen. Tapi semua ini dijalankan dalam kerangka "parlemen pengusaha" dan "perundang-undangan pengusaha". Karena itu, UU perburuhan yang dihasilkan tak pernah bersifat radikal terhadap pengusaha. Selalu saja merugikan kepentingan buruh.
Ketiga, berbagai propaganda yang sesuai dengan kekuasaan pengusaha terutama ditujukan untuk memecah-belah buruh sebagai golongan yang diupah atau digaji. Misalnya, profesional dan eksekutif terlalu bangga terhadap julukan-julukannya, sehingga mereka "merasa" berbeda dengan golongan buruh pabrik. Orde Baru memaksa buruh memakai konsep "karyawan" dan HIP (Hubungan Industrial Pancasila). Terpecah-belahnya kaum buruh melalui propaganda pemisahan buruh kerah putih (white collar) atau buruh berdasi dari buruh kerah biru (blue collar) telah membutakan mata pikiran buruh kerah putih untuk meletakkan dirinya sebagai golongan yang sama-sama diupah atau pemakan gaji.
5.3. Apakah buruh punya kekuatan?
Tapi politik seperti itu barulah sepihak belaka: orientasi pengusaha. Buruh tak diajak untuk mengenali kekuatannya sendiri. Buruh diseret-seret dalam perangkap yang ditata oleh golongan pengusaha dan "negara pengusaha". Sehingga buruh tak bisa keluar dan membebaskan diri dari pikiran yang menawan mereka untuk mengembangkan kekuatannya sendiri. Buruh tak pernah bisa bersatu dan membangun solidaritas dengan sesama golongannya.
Padahal, politik perburuhan yang berkembang selama ini sesungguhnya adalah hasil-hasil politik yang ditata, diatur dan diberlakukan menurut cara-cara, kekuatan-kekuatan, fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan golongan pengusaha demi langgengnya sistem ekonomi pengusaha. Kaum buruh tak pernah meletakkan politiknya untuk menata, mengatur dan memberlakukan politik menurut cara-cara, kekuatan-kekuatan, fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan yang memajukan kepentingan buruh dalam jangka panjang.
Sebaliknya, bila dilihat dari apa yang dihasilkan buruh berupa barang-barang dan jasa-jasa bagi kebutuhan masyarakat, segera bisa dirasakan betapa buruh memiliki kekuatannya yang hebat. Dengan tenaga kerja yang dikeluarkannya, kaum buruh telah menghasilkan prestasi ekonomi bahkan peradaban suatu masyarakat yang gemilang.
Kesadaran buruh terhadap kekuatannya sendiri adalah sangat penting bagi proses peletakan dasar-dasar perjuangan buruh. Bagaimana mereka dapat memiliki dasar-dasar yang cerdas dalam membangun kekuatan bersama?
5.4. Apakah buruh terus berjuang?
Buruh berjuang? Fakta atas berjuangnya buruh sudah tak terbantahkan lagi. Buruh terus berjuang dengan berbagai tuntutan yang diajukan mereka baik kepada pengusaha maupun pemerintah. Di mana saja buruh-buruh berhimpun dan kapan saja mereka pandang perlu mengambil prakarsa, pada setiap momen itu pulalah mereka melancarkan perjuangannya.
Pertama, buruh menunjukkan perjuangannya dengan cara mengusulkan atau mengajukan petisi tuntuan kepada pengelola perusahaan atau tempat-tempat kerja seperti mendatangi pengelola baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Kedua, buruh mengajukan tuntuan-tuntutan mereka dengan cara melakukan aksi pemogokan. Aksi bisa berjalan di dalam perusahaan atau tempat kerja dan bisa pula di luar tempat kerja mereka.
Ketiga, buruh melakukan perjuangan dengan cara mendatangi kantor pemerintah seperti Depnaker maupun parlemen DPR/DPRD agar aparat negara (state apparatus) memberikan tekanan terhadap perusahaan atau penguasa tempat kerja mereka.
5.5. Mengapa buruh berjuang?
Buruh dan pengusaha memang saling membutuhkan, karena keduanya terlibat di dalam hubungan kerja (produksi). Tapi, mengapa buruh harus berjuang menghadapi pengusaha?
Pertama, buruh dan pengusaha berada dalam hubungan yang saling bertentangan. Buruh adalah golongan yang diupah dan pengusaha adalah golongan pengupah. Pengusaha punya motif mengejar laba dengan cara menekan upah, sedangkan buruh punya motif meningkatkan upah.
Kedua, buruh merasakan ketidakadilan, karena hasil kerja yang sudah dipenuhinya telah memajukan perusahaan dan memperkaya pengusaha. Sementara buruh tidak menikmati hasil kemajuan perusahaan dan kemakmuran pengusaha. Mereka menderita secara ekonomi.
Ketiga, aturan-aturan termasuk disiplin kerja yang diterapkan pengusaha sering dirasakan melewati batas, sehingga memberatkan atau menekan buruh. Mereka merasa diperlakukan sewenang-wenang dan pada gilirannya mereka tidak bisa lagi menerima perlakuan tersebut.
Keempat, sejumlah perusahaan atau tempat kerja dibiarkan dengan kondisi kerja yang buruk. Buruh bisa mengalami sesak nafas dan penyakit paru-paru lainnya, rusaknya pendengaran (telinga), serta kecelakaan kerja baik akibat penggunaan alat-alat berat maupun bahan kimia yang berbahaya.
Kelima, buruh merasa diperlakukan tidak adil oleh kebijakan pemerintah dan perundang-undangan. Kebijakan pemerintah dan produk hukum yang dikeluarkan merugikan buruh seperti memberlakukan upah yang rendah dan mengekang buruh untuk berserikat.
5.6. Bagaimana caranya buruh berjuang?
Buruh punya berbagai cara untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya sebagaimana yang sudah ditunjukkan pada point 5.3. Secara garis besar dapat dikelompokkan dalam dua cara.
Pertama, buruh sering memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya secara spontan. Mereka bisa melakukannya dengan cara sendiri-sendiri dan bisa juga bersama-sama seperti pemogokan dan demonstrasi. Perjuangan spontan ini sifatnya sesaat atau ad hoc (khusus dan sementara).
Kedua, peningkatan perjuangan buruh bisa mendorong mereka menyusun rencana perjuangan yang lebih terumuskan. Mereka membentuk kelompok dan kemudian mendirikan serikat buruh sebagai alat perjuangannya. Dalam rumusannya, serikat ini menetapkan fungsi-fungsi pengorganisasian buruh dengan berbagai kegiatan yang bisa dijalankannya.
5.7. Perlukah buruh bersatu?
Ketika buruh melancarkan aksi pemogokan sebagai kekuatan kolektif, sebenarnya buruh sudah merasa bersatu. Dengan bersatu dalam pemogokan, buruh sudah menunjukkan kekuatannya. Tapi merasa bersatu seperti itu barulah bersifat spontan, belum menunjukkan kebutuhan yang berjangka panjang. Buruh perlu bersatu bukan karena didasarkan pada kepentingan sesaat.
Pertama, dalam perusahaan dan tempat-tempat kerja lainnya, buruh harus menyadari bahwa mereka adalah golongan yang sama, yakni sama-sama diupah dan digaji. Buruh harus merasa bahwa mereka merupakan satu golongan yang mengalami ketidakadilan ekonomi secara bersama.
Kedua, secara bersama (kolektif), setiap buruh juga menghadapi masalah-masalah yang sama dalam hubungan mereka dengan pengusaha. Mereka bisa menghadapi UMR yang rendah bersama-sama. Mereka juga bisa diperlakukan sewenang-wenang secara bersama.
Ketiga, dengan mengalami kenyataan pahit bersama-sama, sering menimbulkan rasa senasib dan sepenanggungan di antara buruh. Rasa solidaritas ini merupakan potensi bagi keperluan buruh untuk bersatu: membangun kekuatannya.
Keempat, berbeda dengan pengusaha, karena pengusaha sudah terwakili kebersatuan mereka di dalam sistem yang mereka bangun, atur dan berlakukan kepada buruh dan seluruh penduduk. Mereka punya perusahaan, asosiasi pengusaha, negara pengusaha, sistem hukum, sistem budaya dan ideologi. Buruh juga perlu membangun sistem perjuangannya.
Dengan begitu, untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya, buruh membutuhkan persatuan di antara mereka sebagai sebuah golongan yang mengalami ketidakadilan.
5.8. Apakah buruh itu pelaku perubahan sosial?
Setiap orang yang menjadi buruh patutlah merasa bangga, karena mereka digolongkan sebagai golongan yang tak pernah berhenti untuk berjuang. Karena terus-menerus berjuang, banyak ilmuwan yang kritis dan peneliti yang jujur, merasa kagum terhadap apa yang telah dilakukan buruh bagi masyarakatnya.
Sebagian dari hasil pengamatan dan penelitian mereka, disimpulkan bahwa kaum buruh digolongkan sebagai "pelaku perubahan sosial" atau "arsitek perubahan" ke arah masyarakat yang demokratis dan adil-sejahtera. Pengalaman perjuangan buruh di Korea Selatan, Thailand, Afrika Selatan dan Argentina, telah menempatkan kaum buruh sebagai "pelaku perubahan sosial" tersebut.
Munculnya "negara kesejahteraan" (welfare state) di Eropa Barat sama sekali tak bisa diabaikan dari perjuangan kaum buruh. Dari perjuangan buruh itulah masyarakat di negeri-negeri ini mendapatkan berbagai fasilitas murah dan gratis serta tunjangan sosial dari negara.
Sungguh besar jasa kaum buruh dalam membuahkan perubahan-perubahan tersebut. Melalui berbagai gerakan perjuangan buruh, prestasi-prestasi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, serta demokratisasi, dapat mengalami kemajuan.
Begitu juga perjuangan kaum buruh di Indonesia. Walaupun hasilnya masuk ke kantong-kantong pengusaha, tapi kemampuan ekonomi yang dikeluarkan kaum buruh telah ditunjukkan dengan prestasi mereka dalam menggenjot penghasilan ekspor manufaktur ringan seperti tekstil, pakaian jadi, sepatu dan kayu lapis sepanjang dekade 1980-an dan awal 1990-an. Tak ada keberhasilan ekonomi tanpa sumbangan penting yang diberikan kaum buruh.
Menyadari betapa kaum buruh telah menunjukkan sumbangannya yang sangat berarti bagi ekonomi maupun prestasi lainnya bagi masyarakatnya, maka kesadaran buruh sebagai "pelaku perubahan sosial" sangatlah penting untuk dimajukan. Kesadaran dan kebanggaan ini haruslah menjadi pendorong semangat dan mental bagi buruh sebagai pelaku - bukan menerima atau menangisi nasibnya yang diperas oleh pengusaha dan diperlakukan sewenang-wenang oleh negara.
Setiap buruh yang menyadari kedudukan mereka sebagai "pelaku perubahan sosial", pada umumnya tidak gampang menyerah. Mereka berusaha memupuk semangat dan mental rekan-rekannya untuk terus terlibat sebagai arsitek atau pelaku dalam berbagai perjuangan buruh.

5.9. Mengapa buruh sebagai pelaku perubahan?
Pengusaha adalah golongan pendiri dan sekaligus pemetik laba dari sistem produksi dan pasar kapitalis yang dibangunnya. Kedudukan pengusaha sangat strategis sebagai penguasa sistem ekonomi. Penguasa ekonomi berarti penguasa atas seluruh masyarakat - pemegang kendali tatanan masyarakat. Sistem politik (negara), hukum, budaya dan ideologi mengabdi pada kepentingan golongan pengusaha.
Golongan pengusaha dengan segala kekuatannya berusaha bukan hanya mempertahankan, tapi juga memperbaiki sistem ekonomi yang sudah dihidupi dan menghidupinya. Sebagai penguasa ekonomi, pengusaha pasti berurusan dengan golongan yang dikuasai dalam ekonomi pula. Pengusaha membutuhkan buruh walaupun dalam hubungan yang saling bertentangan.
Buruh adalah golongan yang dipekerjakan dan diupah oleh pengusaha. Walaupun begitu, buruh justru memiliki kepentingan yang berlawanan dengan pengusaha. Bila pengusaha menekan tingkat upah, buruh justru memperjuangkan upah yang lebih baik. Sekalipun membutuhkan buruh, pengusaha juga memusuhi buruh. Permusuhan abadi ini akan membuat keduanya selalu dalam pertentangan atau perselisihan.
Seperti juga pengusaha, kedudukan buruh sangat strategis, karena letaknya dalam sistem produksi komoditas. Kedudukan ini pula yang memungkinkan buruh dapat memainkan perannya sebagai pelaku atau arsitek perubahan sosial bila buruh berhasil tahap demi tahap membebaskan diri dari kepungan dan kungkungan sistem pengusaha.
5.10. Bagaimana mencipta alat perjuangan buruh?
Buruh tak akan dapat mengubah nasibnya dan menjadi pelaku perubahan sosial tanpa secara konsekuen memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya, entah sesaat dan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang.
Buruh perlu memperjuangkan upah yang layak agar tak hanya sekadar mempertahankan hidupnya belaka. Buruh juga butuh rumah, tak sekadar kamar kontrakan atau beristirahat di bedeng-bedeng. Mereka butuh pakaian dan sepatu yang cukup. Buruh juga butuh hiburan untuk memulihkan kesuntukan kerja.
Buruh juga perlu berjuang menuntut perbaikan kondisi kerja. Buruh yang bekerja di tempat-tempat dan dengan bahan-bahan berbahaya perlu menuntut perbaikan agar kesehatan dan keselamatan mereka tidak terancam.
Untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutannya, buruh perlu mengidentifikasi atau mengenali masalah-masalah apa saja yang dihadapi di tempat-tempat kerja mereka. Selain itu, buruh harus mencipta alat perjuangannya sendiri. Caranya adalah dengan membentuk dan menjalankan organisasi sendiri.
Tapi untuk melancarkan perjuangan secara teratur dan sistematis (terencana), buruh harus menciptakan dan mengembangkan alat-alat perjuangannya. Dengan alat-alat inilah buruh dapat mengerahkan tenaga-tenaga kreatif mereka sebagai arsitek perubahan sosial.
5.11. Apa saja alat perjuangan buruh?
Kita sudah mengenali alat-alat yang dipergunakan oleh pengusaha sebagai golongan minoritas yang berkuasa. Mereka tak hanya punya alat-alat seperti perusahaan dan penjaga keamanan, tapi juga alat-alat politik, hukum, pendidikan dan teori-teori ekonomi serta media massa. Alat politiknya adalah negara: mulai dari tentara, polisi, dinas rahasia (mata-mata), pemerintah dan parlemen serta partai pro pengusaha. Alat-alat hukumnya seperti perundang-undangan, pengadilan dan pengacara mereka. Alat-alat pendidikan adalah sekolah dan lembaga pendidikan lainnya yang sejalan dengan kepentingan pengusaha. Juga punya alat-alat pembenar ekonominya yang disusun oleh teoritisi-teorisi dan penasehat-penasehat ekonomi mereka.
Untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan-kepentingan buruh agar dapat efektif, buruh juga membutuhkan alat-alat perjuangannya. Apa saja alat-alat perjuangan buruh yang harus diciptakan dan ditata?
Pertama, sama seperti pengusaha menciptakan alat-alat ekonominya berbentuk perusahaan, maka buruh juga perlu alatnya sendiri berupa serikat-serikat buruh. Bila pengusaha bisa menjalankan perusahaannya untuk meraih keuntungan, maka buruh juga harus melatih diri untuk bisa menjalankan kegiatan-kegiatan serikat buruh secara efektif untuk menyatukan kepentingan ekonomi kaum buruh.
Kedua, jika pengusaha mempunyai alat politiknya berupa negara, maka buruh juga harus punya alat perjuangan politiknya berupa sebuah partai pro buruh. Partai harus membuat buruh melek politik dan menegakkan kepemimpinan buruh yang bertentangan dengan politik pengusaha. Partai harus digunakan untuk menyatukan kepentingan politik semua buruh.
Ketiga, pengusaha mempunyai alat-alat pendidikannya seperti sekolah untuk mendapatkan kembali tenaga kerja yang terdidik dan segar, maka buruh juga harus menciptakan alat-alat pendidikannya sendiri seperti lembaga-lembaga pendidikan buruh yang konsisten dan konsekuen bagi perjuangan buruh.
Keempat, pengusaha punya alat-alat propagandanya seperti media massa dan kantor-kantor iklan, maka hal yang sama buruh juga perlu menciptakan alat-alat propagandanya sendiri yang bertentangan dengan kepentingan pokok pengusaha. Alat propaganda ini harus digunakan untuk menyatukan kepentingan pikiran dan kesadaran kaum buruh.
Tanpa alat-alat perjuangannya, buruh akan sulit dan bisa tak mungkin memperjuangkan kepentingannya secara berhasil. Yang juga harus dipertimbangkan, buruh punya kekuatan terpenting dan paling bernilai, yakni tenaga kerja. Seharusnya, buruh bukan hanya bisa menciptakan alat-alat perjuangannya, tapi juga bisa membalikkan keadaan di mana pada akhirnya seluruh kekuatan pengusaha hancur berantakan.
selengkapnya... Ekonomi Politik Kaum Buruh (5)

komentar (0) / Read More