Logika Dialektis (1)
Logika Formal Dan Keterbatasannya
1. Asal Mula Definisi Logika
”Logika adalah suatu ilmu. Setiap ilmu mempelajari suatu bentuk khusus dari gerak dalam hubungan-hubungan dengan bentuk-bentuk gerak material dan mencari untuk menemukan hukum umum dan cara-cara gerak spesifik dari gerakan tersbut. Logika adalah ilmu proses pikiran. Para ahli logika menyelidiki akivitas proses pikiran yang berlangsung di dalam kepala manusia dan merumuskan hukum-hukum, bentuk-bentuk dan interelasi dari proses-proses mental tersebut.”
”Dua tipe utama dari logika telah muncul bnerasal dari dua tahap utama di dalam perkembangan ilmeu logika: logika formal dan dan dialektika. Ini adalah bentuk gerak mental yang telah berkem¬bang begitu tinggi. Mereka memilki sebagaimana fungsi mereka pemahaman yang sadar dari segala bentuk gerak, termasuk punya mereka sendiri.”
”Walaupun kami secara primer tertarik pada dialektika materi¬alis, kami tidak harus memulai sama sekali untuk memahami metode dialektika. Kita harus mendekati tidak langsung lewat pertama-tama ide-ide fundamental dari bentuk berpkir lainnya: metode logika formal, Sebagai suatu metode berpikir, logika formal adalah oposisi dari dialektika materialis.”
”Mengapa, lalu, kita memulai studi dialektika materialis kita lewat mengkaji penentangnya da dalam ilmu logika?”
2. Perkembangan Logika
”Ada jawaban-jawaban hebat untuk suatu prosedur semacam itu. Pertama dari semua, dialektika tumbuh dari logika formal di dalam perkembangan sejarah. Logika formal adalah sistem pengetahuan ilmiah besar pertama dari proses pemikiran. Adalah puncak karya filosofis dari Yunani kuno, mahkota kejayaan pemikiran bangsa Yunani. Pemikir-pemikir Yunani awal membuat banyak penemuan-penemuan penting tentang alam dari proses berpikir dan hasil-hasilnya. Pe-sintesa pemikiran Yunani, Aristoteles, mengumpul¬kan, mengkelasifikasikan, mengkritik, dan mensistimatiskan hasil-hasil positif dari pemikiran tentang pikiran dan lalu menciptakan logika formal. Euclides melakukan hal yang sama untuk geometri dasar; Archimedes untuk mekanik dasar; Ptolomeus dari Alexandria kemudian untuk astronomi dan geografi; Galen untuk anatomi.”
”Logika Aristoteles mendapat pengakuan dalam bidang pemikiran” selama lebih dari 200 tahun. Ia tak mempunyai saingan samapi ia tertantang, disingkiran dan dilangkahi oleh dialektika, sistem ilmu logika besar kedua. Dialektika merupakan hasil dari suatu gerakan ilmiah revolusioner menutup berabad-abad tenaga kerja intelektual. Ia datang sebagai puncak dari kerja otak pemahaman para filsuf borjuis dari revolusi borjuis demokratis di Eropa barat dari abad ke 16 sampai abad ke 16. Hegel, Raksaksa mazab filsafat idealis borjuis jerman, merupakan mahaguru yang merubah ilmu logika yang pertama, seperti marx jelaskan," menerangkan bentuk-bentuk umum dari gerakan (dari dialektika) dalam suatu cara yang komprehensif dan penuh sadar."
3. Tiga Hukum Dasar dari Logika Formal
Ada tiga hukum fundamental dari logika formal. Pertama dan yang paling penting adalah Hukum identitas. Hukum ini bisa nyata¬kan dalam berbagai cara seperti: Suatu benda selalu sama atau identik dengan dirinya. dalam istilah aljabar: A sama dengan A.
Formulasi khusus dari hukum ini tak begitu penting sewaktu ide terlibat. Pemikiran asensual tercakup dalam hukum identitias.
Mengatakan bahwa suatu benda selalu sama terhadap dirinya adalah sama juga menilai bahwa dibawah semua kondisi ia tetap satu dan sama. Suatu benda yang ada berada secara absolut pada setiap momen yang ada. Seperti ahli fisis katakan: "Materi tak bisa diciptakan dan dihancurkan," contohnya, materi selalu menjadi materi.
Penilaian yang tak kondisional dari hukum identitas absolut dari suatu benda dengan dirinya sendiri menimbulkan perbedaan dari esensi benda-benda dan pikiran. Bila suatu benda selalu dan dalam semua kondisi sama arau identik dengan dirinya, tak pernah bisa tidak sama atau berbeda dari dirinya. Kesimpulan ini mengambil secara logis dan tak terhindarkan dari hukum iden¬titas. Bila A selalu sama dengan A, tak bisa pernah sama dengan non-A.
Kesimpulan ini dibuat eksplisit dalam hukum kedua dari logika formal: Hukum kontradiksi. Hukum kontradiksi menyatakan: A adalah bukan non-A. Ini tak lebih dari formulasi negatif dari penilaian positif yang dinyakan dalam yang pertama hukum logika formal. Bila A adalah A, berikutnya, menurut pemiran formal, bahwa A tak bisa menjadi non-A. Jadi Hukum logika formal kedua, hukum kontradiksi, membentuk tambahan esensial bagi hukum yang pertama.
Beberapa contoh: seorang manusia tak bisa menjadi bukan manusia; Demokrasi tak bisa menjadi tidak demokrasi; seorang buruh tak bisa menjadi seorang buruh.
Hukum kontradiksi menyiratkan hasil perbedaan dari esensi benda-benda dan pikiran tentang benda-benda. Bila A selalu perlu identik dengan dirinya, tak bisa berbeda dari dirinya. Perbedaan dan persamaan adalah, menurut dua aturan logika ini, berbeda sekali, benar-benar tak berhubungan, karakter ekslusif saling menunjang dari baik benda-benda maupun pikiran-pikiran.
Kwalitas ekslusif saling menunjang dari benda-benda hukum pertukaran nilai-nilai persamaan membentuk pondasi dari masyara¬kat pemroduksi komoditi.
”Ijinkan saku menempatkan suatu contoh menarik dari jenis pemikiran ini berasal dari tulisan-tulisan Aristoteles. di dalam Posterior Abalytics (Buku I; bab 33, hal, 158), Aristoteles berkata bahwa seorang tak bisa secara simultan memahaminya, bahwa manusia secara esensial adalah binatang-and kedua, bahwa manusia secara esensial bukan binatang, itulah, mungkin menganggap bahwa dia lain daripada binatang. Begitulah, seorang manusia secara esensial seorang manusia dan tak pernah bisa atau berpikir tak menjadi seorang manusia. ”
”Ini pasti tentulah menurut diktat dari hukum logika for¬mal. Kini kita semua tahu ternyata bertentangan dengan fakta. Teori evolusi alam mengajarkan bahwa manusia secara esensial adalah binatang dan tak bisa lain daripada binatang. Secara logis berbicara, manusia adalah seekor binatang. Namun kita tahu juga dari teori evousi sosial, yang merupakan kelanjutan dan perkem¬bangan dari evolusi binatang secara murni, bahwa manusia tak lebih dari dan lain dari seekor binatang. Dengan kata lain, dia secara esensial bukan seekor binatang melainkan manusia, yang merupakan spesies mkhluk hidup yang sangat berbed dari semua binatang lainnya. Kita dan kita tahu bahwa kita, dua benda ekslusif yang saling bergantung pada satu dan saat yang sama, Aristoteles dan hukump-hukum secara ekspresif adalah catatan yang diambil dari dalam hukum ketiga dari logika formal. Ini adalah hukum pertengahan khusus. Menurut hukum ini, setiap benda adalaj dam pasti juga salah satu dari dua benda-benda ekslusif. Bila A sama dengan A, ia tak bisa sama dengan non-A. A tak bisa jadi bagain dari dua kelas yang berlawanan pada satu atau saat yang sama. Di mana saja dua pernyataan yang saling belrlawanan atau hubungan bermusuhan satu sama lain, baik itu mungkin benar atau juga salah. A adalah juga B atau ia bukan B. Kebenatran dari suatu pendapat menyiratkan ketidakbenaran kebalikannya.
”Hukum ketiga ini adalah suatu kombinasi dari dua pertama dan mengalir secara logis dari mereka.
”Ketiga hukum ini merupakan basis dari logika formal. Semua jawabanjawaban formal dihasilkan dari aturan dari proposisi-proposisi ini. Selama dua ratus tahun mereka merupakan aksioma tak terbantahkan dari sistim pikiran Aristoteles, hanya sebagai logika formal sebaliknya tak kokoh berdiri.
Keterbatasan Logika Formal
”Pada pelajaran pertama kita menghadapi tiga persoalan:
1. Apa itu logika? Kita mengartikan logika sebagai ilmu tentang proses berpikir dalam hubungannya dengan semua proses lain di alam. Telah kita kenal dua sistem utama tentang logika: logika formal dan logika dialektik.
2. Apa itu logika formal? Kita menganggap logika formal adalah pemikiran yang didomunasi oleh hukum identitas, kontradiksi, dan perpaduan dari keduanya. Kita tekankan bahwa ketiga hukum fundamental dalam logika formal ini memiliki nilai material dan landasan objektif: bahwa ketigan¬ya adalah formulasi nyata dari logika pemikiran umum: mereka merupakan aturan-aturan berpikir yang tersebar luas dalam alam borjuis.
”Apakah hubungan antara logika formal dengan logika dialek¬tik? Dua sistem logika ini tumbuh dari dan berhubungan dengan dua tahap yang berbeda dalam perkembangan ilmu berpikir. Logika formal berjalan secara dialektis dalam perubahan logika yang historis, yang pada umumnya berjalan dalam perkembangan intelek¬tual dari individu-individu. Lalu, dialektika muncul dari pandan¬gan kritis terhadap logika formal; membuang dan menggantinya sebagai lawan revolusioner, successor, dan pemenangnya.
”Dalam pelajaran kedua ini, kita berusaha memblejeti keterba¬tasan-keterbatasan logika formal, dan memperlihatkan bagaimana dialektik muncul dari pengujian kritis terhadap ide-ide fundamen¬talnya. Sekarang kita telah mengerti apa landasan hukum dari logika formal itu, apa yang mereka refleksikan dalam realitas, mengapa mereka menjadi alat berpikir yang penting dan berharga; kita harus melewati satu tahap selanjutnya dan mencari tahu apa yang bukan termasuk hukum logika formal: ciri-ciri realitas apa yang mereka tolak dan putar balikkan? Dan di mana kegunaan mereka berakhir, dan di mana ketidak bergunaannya bermula
”Tahap investigasi kita selanjutnya tidak akan sepenuhnya memunculkan hasil negatif. Sebaliknya, justru akan tercipta hasil yang positif. Setelah kelemahan dari logika formal dikemu¬kakan, bersamaan dengan itu akan tampak kebutuhan dan karakteris¬tik utama dari gagasan tentang logika yang baru untuk menggantikannya.
”Logika formal dimulai dengan pernyataan bahwa A adalah selalu sama dengan A. Kita tahu bahwa hukum identitas ini mengan¬dung kebenaran, jika ia mampu berfungsi penting dalam setiap pemikiran ilmiah dan selalu kita gunakan dalam aktivitas sehari-sehari. Tapi seberapa jauh kebenaran hukum ini? Apakah ia akan selalu dapat dipercaya untuk dijadikan pedoman yang menyeluruh dalam proses realitas yang kompleks? Di sinilah pertanyaannnya.
”Pembuktian terhadap kebenaran atau kesalahan tiap pernyataan adalah melalui pendekatan terhadap realitas objektif, dan melihat dalam praktek, apakah dan sampai tingkatan mana, isi konkrit yang dikemukakan dalam pernyataan dapat dijadikan contoh. Jika isi yang berhubungan dengan pernyataan dapat diterapkan dalam reali¬tas, maka berarti ia memiliki kebenaran, jika tidak maka pernya¬taan itu salah.
”Di manapun kita menghadapi suatu kenyataan yang benar-benar exist, dan menelaah karakternya, kita temukan bahwa A tidak pernah sama dengan A jika kita mengamati kedua huruf itu dengan kaca pembesar, kita akan lihat bahwa ke¬duanya berbeda satu sama lain. Tapi akan muncul sanggahan: pernmasalahan bukanlah pada bentuk atau ukuran dari hurufnya, mereka toh hanya simbol dari kuantitas yang sama, misalnya satu pon gula. Sanggahan itu di luar konteks, pada kenyataannya satu pon gula tidak pernah sama dengan satu pon gula --selalu tak tertutup perbedaan. Sekali lagi akan muncul sanggahan: satu pon gula pasti selalu sama dengan dirinya sendiri. Ini nonsens. Segala sesuatu senantiasa berubah, dalam ukuran, berat, warna, dll. Mereka tidak pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorang romantis akan menjawab bahwa kapanpun dan di manapun satu pon gula akan sama dengan dirinya.
”Di luar dari praktek nilai aksiom yang mendua, praktek itu tidak memiliki kritik teoritik. Bagaimana kita benar-benar men¬gerti makna 'keadaan'? Jika 'keadaan' diartikan sebagai suatu interval waktu yang kecil sekali, maka satu pon gula yang kita maksud ada dalam satu keadaan menuju perubahan yang tak terelak¬kan. Apakah pengertian 'keadaan' adalah murni suatu abstraksi matematis, yaitu besaran waktu yang kosong? Segala sesuatu eksis dalam konteks waktu, karena itu sebagai konsekwensinya, waktu adalah elemen dasar dari keberadaan/eksistensi. Jadi, aksioma A=A menunjukkan bahwa satu hal sama dengan dirinya,jika ia tidak mengalami perubahan, yaitu: jika ia tidak exis
Aksioma A=A muncul, di satu pihak sebagai titik perkembangan ilmu pengetahuan, tapi di pihak lain juga sebagai pusat pekembangan kekeliruan dalam ilmu pengetahuan kita sendiri."
Bagaimana mungkin satu hukum yang sama mampu menjadi sumber pengetahuan sekaligus sumber kekeliruan? Kontradiksi ini dapat dijelaskan dengan kenya¬taan bahwa hukum identitas memiliki dua sisi karakter. Keduanya sekaligus memiliki kebenaran dan kesalahan. Ia memiliki kebenaran sejauh ia dapat dianggap pasti dan tak dapat diubah, atau sejauh tingkat perubahan mereka dapat diabaikan/tak perlu diperhatikan. Sehingga, hukum identitas memberikan akibat yang benar hanya dalam batas-batas tertentu. Batasan ini di satu sisi diberikan oleh karakter inti yang ditunjukkan oleh perkembangan aktual dari objek permasalahan, di sisi lain oleh maksud -tujuan praktis.
”Sekali batasan khusus ini dilanggar, hukum identitas tidak akan mampu mengakomodir, lalu berubah menjadi kekeliruan. Semakin jauh proses perkembangan melampaui batasan ini, semakin jauh hukum identitas itu dari kebenaran. Maka hukum-hukum lainnya harus diupayakan dan dipakai untuk memperbaiki kekeriuan yang diprakarsai hukum yang tak sempurna, dan mengatasi hubungan-hubungan yang lebih baru dan kompleks."
”Ada beberapa contoh. Dari Albany ke New York, sungai Hudson jelas sama dengan dirinya dan berbeda dengan alur air lainnya. A selalu sama dengan A. Tapi dengan batasan yang ada akan bertambah sulit untuk membedakan sungai Hudson dengan alur air lainnya. Di hulunya di pelabuhan New York, sungai Hudson kehilangan identi¬tasnya dan semakin menyatu dengan laut Atlantik. Di sumber airn¬ya, sungai Hudson terpecah menjadi sumber dan aliran terpisah, yang, walaupun mereka turut membentuk Hudson, namun masing-masing memiliki identitas khusus dan eksistensi material sendiri, berbe¬da dari sungainya sendiri. Jadi, keduanya mengakhiri anggapan kesamaan identitas yang dianggap dimiliki oleh sungai Hudson.
”Kesamaan kehilangan identitas terjadi terus sepanjang pem¬bentukan sungai. Ruang identitas dari sungai selalu dipertahankan dan didefinisikan oleh tebing-tebing darimana airnya muncul. Tapi, ketika sungai meninggi atau menjadi lebih rendah, atau mengalami erosi, tebing-tebing ini berubah. Hujan dan banjir mengubah batas-batas yang ada secara permanen atau temporer sejauh bermil-mil. Bahkan walaupun bentuk ruang-ruang sungai tetap sama, tidak akan pernah diisi oleh air yang sama. Tiap tetes berbeda. Sungai Hudson terus mengubah identitas dirinya setiap waktu.
0 komentar: